The Signal-Man
The Signal-Man
[Penampakan di Perlintasan Kereta]
Cerpen
Terjemahan
Pengarang: Charles Dickens
Penerjemah: Harum Wibowo
“Hei, yang
di bawah sana!”
Ketika dia mendengar sebuah suara memanggilnya, dia
sedang berdiri di ambang pintu pos jaga sambil memegang bendera yang masih
tergulung. Kupikir dia pasti dapat menebak dari arah mana suara tersebut
berasal, tapi bukannya melihat ke atas, dia malah celingak-celinguk dan
memandang ke ujung rel kereta. Caranya mencari asal suara kelihatan aneh, tapi
aku sendiri tidak terlalu tahu kenapa. Yang pasti kelakuannya menarik
perhatianku, walaupun dari tempatku berdiri dia kelihatan kecil dan hitam
karena tertutup bayangan. Aku berdiri jauh di atasnya dengan dibanjiri sinar
matahari yang menyilaukan sampai membuatku harus melindungi mata dengan tangan
agar dapat melihat dengan jelas.
“Hei, yang
di bawah!”
Dia
mengalihkan pandangan dari rel kereta dan melihat kesana-kemari, lalu akhirnya
dia mendongak dan melihatku berdiri di atasnya.
“Apa ada
jalan agar aku dapat turun dan berbicara denganmu?”
Dia hanya
menatapku tanpa menjawab, dan aku pun hanya memandangnya tanpa memaksanya
menjawab dengan mengulangi pertanyaanku yang remeh. Kemudian samar-samar terasa
getaran di tanah dan udara, lalu berubah menjadi getaran kuat, dan dorongan
yang sangat keras seolah mempunyai kekuatan untuk menarikku ke bawah. Aku pun terjatuh
di tanah. Ketika asap dari kereta telah menghilang dan berbaur di udara, aku
mengintip ke bawah lagi dan melihat dia menggulung bendera yang dikibarkannya
ketika kereta lewat tadi.
Aku ulangi
pertanyaanku. Dia menatapku lekat-lekat, dan setelah jeda sebentar, dia
menunjuk dengan benderanya ke sebuah titik yang berada sekitar dua atau tiga
ratus meter dari tempatku berdiri. Aku berteriak padanya, “Baiklah, terima
kasih!” lalu berjalan ke arah yang ditunjuknya. Setelah melihat ke sekeliling,
aku menemukan jalan turun yang berliku-liku.
Jalan
tersebut sangat licin karena dibuat dari bebatuan yang lembab. Semakin aku
berjalan turun, semakin berlumpur dan basah jalannya. Aku berjalan dengan
sangat perlahan dan hati-hati, sehingga membuatku kembali terpikir dengan
sikapnya yang ragu-ragu dan kelihatan terpaksa saat dia menunjukkanku jalan
ini.
Ketika aku
sudah hampir sampai di bawah, aku melihatnya berdiri di tengah rel yang tadinya
dilewati kereta. Sikapnya menunjukkan seolah dia sedang menunggu kedatanganku.
Tangan kirinya memegang dagu, dan sikunya beristirahat di atas tangan kanannya
yang menyilang di depan dada. Sikapnya yang penuh harap dan perhatian membuatku
menghentikan langkah dan terheran-heran.
Aku
lanjutkan berjalan turun. Saat kakiku sampai di dasar, aku berjalan
mendekatinya. Dia adalah seorang pria dengan kulit hitam pucat, janggut hitam,
dan alis yang sangat tebal. Pos jaganya merupakan tempat terpencil dan tersuram
yang pernah kulihat. Di setiap sisinya ada dinding batu kasar, dan tidak ada lagi
pemandangan yang mengelilingi pos jaganya selain garis-garis langit. Jika kita
memandang lebih jauh, yang terlihat hanyalah penjara raksasa yang panjang. Jika
dilihat sepintas ke arah lain, yang di ujungnya terlihat cahaya merah suram,
kita dapat melihat jalan masuk ke dalam terowongan raksasa yang gelap dengan
suasana sedih dan mencekam menggantung di udara. Hanya sedikit cahaya matahari
yang dapat menembus masuk ke lubang ini, sehingga membuat udaranya berbau tanah
dan kematian. Banyak angin dingin yang berhembus dari dalam sehingga membuat
bulu romaku berdiri dan merasa seolah aku telah meninggalkan dunia asalku.
Kini aku
sudah cukup dekat sampai bisa bersentuhan dengannya. Sambil masih menatapku
lekat-lekat, dia mundur selangkah dan menaikkan tangannya untuk memberi tanda
padaku agar jangan melangkah lebih dekat.
Pos jaganya
sangat sepi, batinku, dan karena itulah pandanganku terpaku saat aku melihatnya
dari atas sana. Kurasa kedatangan tamu adalah hal yang langka di sini, tapi
bukan berarti dia harus bersikap kurang sopan pada tamu langkanya, ‘kan? Dia
hanya memandang diriku sebagai seseorang yang telah terkurung seumur hidupnya,
dan ketika dibebaskan, timbul ketertarikan yang luar biasa untuk mengagumi
tempat ini. Karena itulah aku bermaksud berbicara dengannya, tapi aku masih
tidak yakin dengan apa yang harus kubicarakan dengannya, di samping karena aku
tidak terlalu suka mengawali pembicaraan, ada sesuatu dalam diri pria ini yang
menakutkanku.
Dia
memandang lampu merah yang berada di dekat mulut terowongan dengan cara yang
paling aneh. Setelah memeriksa sekelilingnya dengan saksama, seolah ada sesuatu
yang salah dengan lampu itu, dia pun memandangku.
“Lampu itu
masih bagian dari peralatanmu, ‘kan?”
Dia menjawab
dengan pelan, “Kau tidak tahu ya?”
Sembari aku
membaca dengan teliti makna tatapan mata dan wajahnya yang suram, sebuah
pikiran mengerikan menghampiri benakku; orang ini bukanlah manusia, tapi arwah.
Kini giliran
aku yang melangkah mundur. Tapi sekilas aku melihat di matanya ada ketakutan
terpendam padaku. Hal ini melenyapkan pikiran burukku.
“Kau
melihatku,” ucapku dengan memaksakan senyuman, “seolah kau sangat ketakutan
padaku.”
“Aku hanya
penasaran,” jawabnya, “apakah aku pernah bertemu denganmu sebelumnya.”
“Di mana?”
Dia menunjuk
lampu merah yang tadi diperhatikannya.
“Di sana?”
tanyaku dengan heran.
Sambil
memperhatikanku lekat-lekat, dia menjawab (tapi hampir tanpa suara), “Ya.”
“Teman
baikku, memangnya apa yang kulakukan di sana? Lagipula aku tidak pernah ke
sana, sumpah.”
“Kurasa aku
pernah,” sanggahnya. “Ya, kurasa aku memang pernah bertemu denganmu.”
Sikapnya
kemudian menjadi lebih sopan sepertiku. Dia menjawab semua ucapanku dengan
sigap dan kata-kata yang dipilih dengan baik. Apa dia sibuk di sana? Ya. Itu
pasti, dia mengemban tanggung jawab yang cukup besar, tapi pekerjaan yang
sebenarnya lebih menuntut ketepatan dan ketelitian darinya. Tidak ada pekerjaan
lain yang lebih melelahkan daripada ini. Yang ada dalam kepalanya hanyalah
mengganti sinyal, memosisikan lampu, dan memutar gagang besi untuk mengubah
jalur kereta. Menurutnya dia sudah terbiasa menghabiskan jam kerjanya yang
panjang dalam kesendirian, dan semua itu sudah membentuk menjadi sebuah
rutinitas dalam kehidupannya. Dia bahkan belajar bahasa asing di sini—jika saja
mengetahui sepintas lalu, dan membuat-buat sendiri pengucapannya dapat
dikatakan sebagai belajar. Dia juga belajar pembagian, hitungan desimal, dan
sedikit aljabar. Tapi semenjak kecil nasibnya sudah memprihatinkan. Apa dia
memang perlu untuk selalu berada di terowongan lembab tersebut selama
menjalankan tugas, dan apakah dia tidak boleh memanjat dinding batu yang
menjulang tinggi di sana untuk menikmati cahaya mentari? Tentu saja boleh, tapi
itu tergantung waktu dan kondisi. Dalam situasi tertentu, tidak ada banyak
pekerjaan yang dapat dilakukannya di atas rel, dan kesempatan itu biasanya
dapat muncul di jam-jam tertentu di siang dan malam hari. Jika cuaca sedang
cerah, dia terkadang mendaki ke atas, keluar dari kegelapan di bawah. Namun
bukan berarti dia dapat sepenuhnya bersantai, karena dia wajib menjawab semua
panggilan yang datang dari lonceng listriknya, dan terkadang dia menunggu
loncengnya berdering dengan sangat was-was. Jadi, walaupun dia memiliki
kesempatan untuk bersantai, dia tidak dapat sepenuhnya lega.
Dia
membawaku masuk ke dalam posnya yang memiliki perapian, meja yang di atasnya
terdapat sebuah buku untuk menulis catatan, alat telegraf dengan tombol, layar,
jarum, dan lonceng kecil yang tadi telah disebutkannya. Aku berkomentar bahwa
dia adalah orang yang berpendidikan (kuharap caraku mengatakannya tidak
membuatnya tersinggung), bahkan mungkin terlalu berpendidikan untuk bekerja
sebagai penjaga rel kereta api, dan kepandaiannya ini sulit ditemukan di antara
orang-orang yang pekerjaannya hanya mengandalkan fisik. Dia setuju denganku.
Menurutnya tidak ada orang yang seperti dirinya di antara para buruh, polisi,
dan bahkan yang paling mencolok, tentara. Begitu juga di antara staff kereta
api lainnya. Katanya, ketika dia masih muda, dia pernah menjadi mahasiswa
filosofi alam dan menghadiri perkuliahan (tapi aku tidak begitu percaya dengan
ini), namun dia bertindak liar, menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya, dan
terperosok jatuh tanpa sanggup berdiri lagi. Dia tidak ingin mengeluh tentang
itu. Dia telah menuai apa yang ditanamnya. Sudah terlambat baginya untuk
menanam benih lain.
Yang dapat
kulakukan hanyalah mendengarkan kisahnya dengan penuh perhatian. Selagi
bercerita, tatapannya yang serius terbagi antara aku dan perapian. Dia
mengucapkan kata, “Sir,’ dari waktu ke waktu, khususnya ketika dia berkisah
tentang masa mudanya—seolah dia ingin agar aku mengerti bahwa dia dulu sama
sekali tidak seperti apa yang kulihat sekarang. Beberapa kali kisahnya disela
oleh deringan lonceng yang membawa pesan untuk diartikannya, dan dijawab
segera. Sekali waktu dia harus berdiri di ambang pintu, mengibarkan bendera
ketika kereta melintas, dan melakukan komunikasi verbal dengan sang masinis.
Ketika sedang bekerja, aku perhatikan dia sungguh teliti dan waspada. Jika
sedang di tengah kalimat, dia menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu, lalu
diam tak bergeming sampai apa yang sedang dikerjakannya selesai.
Singkatnya,
dia adalah orang yang sangat cocok untuk menjalankan pekerjaan seperti ini,
tapi sudah dua kali dia berbicara padaku dengan wajah pusat pasi, menoleh ke
lonceng kecil ketika TIDAK sedang berdering, membuka pintu pos (yang ditutup
rapat untuk mencegah udara lembab masuk kemari), lalu melihat lampu merah yang
berada di mulut terowongan. Pada kedua kejadian tersebut, dia selalu kembali
duduk di samping perapian yang letaknya jauh dari tempat dudukku dengan
ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
Ketika aku
berdiri dan hendak meninggalnya, aku berkata, “Kau membuatku merasa seperti
telah bertemu dengan orang yang bahagia.”
(Harus
kuakui bahwa aku mengucapkannya untuk sekedar menyenangkan hatinya.)
“Ya, dulunya
aku memang begitu,” ucapnya setelah dia tersadar kembali, namun suaranya masih
sangat pelan seperti saat pertama kami bertemu, “tapi sekarang ada banyak hal
yang merisaukanku, sir.”
Kalau dia
bisa, dia pasti sudah mengatakan apa itu yang membuatnya risau. Namun karena
sudah terlanjur tidak dikatakan, aku harus cepat balik bertanya padanya.
“Apa yang
membuatmu risau?”
“Sulit untuk
dijelaskan, sir. Amat sangat sulit untuk dikatakan. Jika kau mengunjungiku lagi
di kemudian hari, maka saat itu akan kukatakan padamu.”
“Tapi aku
memang berniat untuk mengunjungimu lagi. Kira-kira kapan?”
“Jam kerjaku
selesai di pagi hari, dan mulai kembali bekerja jam sepuluh esok malam, sir.”
“Kalau
begitu aku akan datang jam sebelas.”
Dia
berterima kasih padaku dan menemaniku sampai ke pintu. “Akan kuterangi jalanmu,
sir,” ujarnya dengan suara pelan yang aneh, “sampai kau menemukan jalan ke
atas. Ketika sudah ketemu, jangan berteriak memanggilku! Dan kalau kau sudah
sampai di atas, jangan teriak juga!”
Sikapnya membuatku
merasa tempat ini menjadi lebih mencekam daripada sebelumnya, tapi yang bisa
kuucapkan hanya, “Baiklah.”
“Dan kalau
kau ingin turun besok malam, jangan berteriak memanggilku! Ada yang ingin
kutanyakan sebelum kau pergi. Kenapa kau tadi berteriak, ‘Hei, yang di bawah
sana!’?”
“Entahlah,”
ujarku. “Sepertinya aku juga meneriakkan sesuatu yang lain—“
“Tidak ada
kata lain, sir. Hanya itulah kata-kata yang kau teriakkan. Aku masih ingat
dengan jelas.”
“Kuakui
memang hanya itu saja yang kukatakan. Aku mengucapkannya karena aku melihatmu
di bawah.”
“Tidak ada
alasan lain?”
“Alasan lain
seperti apa?”
“Kau tidak
merasa bahwa kata-kata itu kau lontarkan dengan cara supranatural?”
“Tidak.”
Dia
mengucapkan selamat malam padaku dan menaikkan senternya. Aku berjalan
menelusuri rel (dengan perasaan tidak nyaman karena membayangkan ada kereta
yang datang dari belakangku) sampai aku menemukan jalan semula. Ternyata lebih
mudah mendaki daripada menuruni. Akhirnya aku pulang ke penginapan dan sampai
dengan selamat.
Dengan
bersikap tepat waktu, aku sudah menapakkan kaki di atas jalan menurun yang
berliku-liku saat jam di tanganku menunjukkan hampir pukul sebelas. Dia sedang
menungguku di bawah dengan senter di tangannya. “Aku belum memanggilmu,” ucapku
ketika kami sudah dekat; “Boleh aku bicara sekarang?” “Silahkan, sir.” “Kalau
begitu, selamat malam, dan ini tanganku.” “Selamat malam, sir, dan ini
tanganku.” Setelah itu kami berjalan berdampingan ke posnya, masuk, menutup
pintu, lalu duduk di dekat perapian.
“Aku sudah
memutuskan, sir,” ujarnya dengan membungkukkan badan ke arahku saat kami baru
duduk, dan dia berbicara dengan nada yang sedikit lebih keras daripada bisikan,
“bahwa aku harus mengatakan apa yang membuatku resah sekarang juga. Kemarin
malam aku mengira kau seseorang yang kukenal. Itulah yang meresahkanku.”
“Salah
orang?”
“Orang
lain.”
“Siapa?”
“Entahlah.”
“Mirip
denganku?”
“Aku tidak
tahu. Aku tidak pernah melihat wajahnya. Tangan kirinya menutup mata, dan
tangan kanannya melambai dengan kencang. Seperti ini.”
Kulihat dia
menirukannya, dan itu tampak seperti orang yang menggunakan gerakan tangan
ketika sedang berbicara dengan sangat berapi-api, “Ya Tuhan, minggir!”
“Suatu
malam, ketika rembulan bersinar,” ucapnya, “aku sedang duduk di sini, lalu
mendengar sebuah teriakan, ‘Hei! Yang di bawah sana!’ Aku pun bangkit dengan
terkejut, menengok dari pintu, dan melihat Orang Lain ini sedang berdiri di
samping lampu merah dekat terowongan dan melambai seperti yang kutirukan tadi.
Suaranya parau karena berteriak kencang, dan dia terus berteriak, ‘Awas! Awas!’
kemudian, ‘Hei! Yang di bawah sana! Awas!’ Aku raih senterku, menyalakan lampu
merahnya, dan berlari ke arahnya sambil memanggil, ‘Ada apa? Apa yang terjadi?
Di mana?’ Dia tetap berdiri di luar kegelapan terowongan. Aku berlari sampai
sangat dekat dengannya dan melihat dia menutup mata dengan lengannya. Aku
mendekat dan saat aku hendak menyingkirkan lengannya, dia menghilang.”
“Ke dalam
terowongan?” tanyaku.
“Tidak. Aku
terus berlari ke dalam terowongan sampai lima ratus yard. Aku berhenti, dan
menaikkan senterku setinggi kepala, dan melihat sosoknya telah berada di
kejauhan, lalu aku melihat ada rembesan air menetes dari langit-langit
terowongan. Aku pun berlari lagi dengan sangat kencang (karena aku ketakutan
setengah mati dengan tempat itu), dan aku memeriksa sekitar lampu merah dengan
lampu merahku, lalu memanjat tangga besi ke bagian atas, kemudian turun
kembali, dan berlari pulang kemari. Aku mengirim telegram ke kedua jalur, ‘Aku
menerima tanda peringatan. Apa ada masalah?’ Jawaban pun datang dari kedua
jalur, ‘Semua baik-baik saja.’”
Sambil
berusaha keras melawan sensasi dingin yang merasuk sampai ke tulang sum-sumku,
aku katakan padanya bahwa sosok orang itu pasti hanyalah halusinasi dari indera
penglihatannya; dan bahwa sosok itu hanyalah hasil dari sebuah penyakit saraf
yang merusak fungsi mata, dan telah ditemukan di beberapa pasien yang
beberapanya sadar dengan penyakitnya itu dan telah membuktikannya dengan
melakukan percobaan dengan diri mereka sendiri. “Sedangkan tentang halusinasi
teriakan,” jelasku, “coba dengarkan suara angin di bukit aneh ini barang
sebentar, mungkin itu hanyalah suara aingin yang membentur kabel telegraf.”
Tidak ada
yang salah dengan angin di sana, balasnya, setelah kami duduk diam sambil
mendengarkan suara angin sebentar, dan kalaupun itu suara angin atau kabel, dia
pasti sudah tahu sebelumnya karena dia sudah sering menghabiskan malam-malam di
musim dingin di sini sendirian dan berjaga dengan hening. Selanjutnya dia
berkata bahwa ceritanya belum selesai.
Aku minta
maaf padanya, dan dia perlahan menambahkan kata-kata ini sambil menyentuh
tanganku—
“Enam jam
setelah Penampakan itu muncul, terjadi sebuah kecelakaan besar di jalur ini,
dan empat jam kemudian mayat-mayat dan orang-orang yang terluka dilarikan dari
dalam terowongan tepat di mana sosok tadi berdiri.”
Kengerian
merayap ke seluruh tubuhku, tapi aku berusaha keras menahannya. Aku tidak
membantahnya tapi hanya mengatakan bahwa itu semua hanyalah sebuah kebetulan
besar yang telah diperhitungkan dengan cermat untuk mempengaruhi pikirannya.
Tapi memang tidak bisa disangkal bahwa kebetulan besar itu bisa terjadi
terus-menerus, dan harus dipertimbangkan saat ingin memahami hal seperti itu.
Walaupun dengan jelas kuakui, tambahku (karena aku merasa dia akan
membantahku), orang biasanya tidak akan mempertimbangkan kebetulan jika
menyangkut nyawa manusia.
Lag-lagi dia
berkata bahwa kisahnya belum selesai.
Lagi-lagi
aku meminta maaf karena menyela ceritanya.
“Kejadian ini,” lanjutnya, dan kembali menyentuh
lenganku, dan memberikanku tatapan kosong, “terjadi setahun yang lalu. Enam
atau tujuh bulan pun berlalu, dan aku telah pulih dari keterkejutan dan shock yang menimpaku. Lalu suatu pagi, saat hari
menjelang fajar, aku berdiri di ambang pintu, melihat ke arah lampu merah, dan
melihat hantu itu lagi.” Dia berhenti dengan tatapan tertuju padaku.
“Apa dia
berteriak?”
“Tidak. Dia
diam saja.”
“Apa dia
melambaikan tangannya?”
“Tidak. Dia
sedang bersandar di tiang lampu merah, dengan kedua tangan menutupi wajah.
Seperti ini.”
Sekali aku
menyaksikan dia menirukannya. Itu adalah sikap seperti orang yang sedang
berkabung. Aku pernah melihat sikap seperti itu pada patung batu di pemakaman.
“Apa kau
mendekatinya?”
“Aku masuk
dan duduk di posku, sebagian karena aku ingin berpikir, dan sebagian lagi
karena kejadian itu membuatku ingin pingsan. Ketika aku keluar pintu lagi, hari
sudah siang, dan hantu itu telah pergi.”
“Tapi tidak
terjadi apa-apa setelahnya?”
Dia
menyentuh lenganku dengan telunjuk dua atau tiga kali sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Di hari itu
juga, saat sebuah kereta keluar dari dalam terowongan, aku melihat di jendela
kereta tampak ada bayangan seperti kepala dan tangan yang melambai. Aku segera
memberikan sinyal kepada masinis untuk berhenti. Dia pun berhenti dan memasang
rem, tapi keretanya telah melewati pos sejauh sekitar seratus lima puluh yard
atau lebih. Aku berlari mengejarnya, dan saat aku sedang berlari, aku mendengar
teriakan histeris. Seorang wanita muda tewas secara mendadak di sebuah gerbong.
Jasadnya dibawa kemari dan dibaringkan di atas lantai tepat di antara tempat
duduk kita.
Aku langsung
terkejut dan mendorong mundur kursiku saat aku melihat ke lantai yang
ditunjuknya.
“Benar, sir.
Benar. Tepat di sini.”
Aku tidak
tahu harus berkata apa, dan mulutku terasa sangat kering. Suara angin dan kabel
terdengar seperti tangisan yang meraung-raung sehingga menambahkan kengerian
kisahnya.
Dia lanjut
bercerita. “Sekarang, sir, dengarkan ini baik-baik dan bayangkan betapa hatiku
dibuatnya resah. Hantu itu muncul kembali seminggu yang lalu. Sejak saat itu,
hantu itu tetap di sana, kadang-kadang muncul lalu menghilang.”
“Di dekap
lampu sana?”
“Ya, di
lampu Tanda Bahaya sana.”
“Apa yang
dilakukannya?”
Dia
menirukan ulang gerakan melambaikan tangan “Ya Tuhan, minggir!” tadi dengan
lebih keras.
Kemudian dia
melanjutkan. “Aku tidak tenang dibuatnya. Dia terus memanggilku dengan sikap
seperti itu, ‘Yang di bawah sana! Awas! Awas!’ Dia berdiri dan melambai padaku.
Dia bahkan membunyikan lonceng kecilku—“
Aku segera
bertanya, “Apa dia membunyikan lonceng-mu kemarin malam ketika aku di sini
makanya kau keluar pintu?”
“Dua kali.”
“Nah, lihat
sendiri ‘kan,” ucapku, “kau hanya berimajinasi. Mataku saat itu tertuju pada
lonceng, dan telingaku siap siaga, dan jika aku masih berakal sehat, lonceng-mu
TIDAK berdering saat itu. Tidak juga di saat lain, kecuali ketika lonceng-mu
berdering saat stasiun ingin berkomunikasi denganmu.”
Dia
menggeleng. “Aku belum pernah membuat kesalahan seperti itu, sir. Aku tidak
pernah salah membedakan deringan dari manusia dengan hantu itu. Deringan dari
hantu itu membuat lonceng bergetar dengan cara yang aneh sehingga aku tidak
mungkin salah membedakannya, lagipula aku lupa bilang kalau lonceng itu
terlihat bergerak di mataku. Aku tidak terkejut kalau kau tidak dapat
mendengarnya. Tapi aku dapat mendengarnya.”
“Dan apakah
hantu itu ada di sana ketika kau melihat ke luar?”
“Ya, dia ADA
di sana”
“Pada dua
kesempatan itu?”
Dia
mengulang dengan tegas, “Ya, dua kali.”
“Maukah kau
keluar denganku dan mencarinya sekarang?”
Dia
menggigit bibir bawahnya seolah enggan melakukannya, tapi akhirnya dia berdiri
juga. Aku membuka pintu, dan berdiri di tangga, sementara dia berdiri di ambang
pintu. Di sana ada lampu Tanda Bahaya. Di sana ada mulut terowongan yang muram.
Di sana ada dinding batu lembab yang menjulang tinggi. Di atasnya ada
bintang-bintang.
“Apa kau
melihatnya?” tanyaku padanya sambil memperhatikan raut wajahnya. Matanya
menonjol dan tegang, tapi mungkin tidak setegang mataku ketika aku mengarahkan
matanya ke titik yang sama.
“Tidak,”
jawabnya. “Dia tidak ada di sana.”
“Setuju,”
ujarku.
Kami masuk
kembali, menutup pintu, dan duduk. Aku sedang berpikir bagaimana memperbaiki
situasi berlebihan ini, jika bisa disebut begitu, ketika dia memulai percakapan
dengan gaya santai seolah tidak akan ada pertanyaan serius di antara kami,
sehingga aku merasa ditempatkan di posisi yang sulit.
“Saat ini
kau pasti sudah sepenuhnya paham, sir,” ucapnya, “apa yang sangat merisaukanku
adalah pertanyaan, ‘Apa maksud hantu itu?’”
Aku tidak
tahu, jawabku, tapi aku memahami kondisinya.
“Apa yang
diperingatkannya?” ujarnya sambil merenung. Matanya terpaku pada perapian dan
hanya kadang-kadang menatapku. “Bahaya apa? Di mana bahayanya? Ada marabahaya
menggantung di suatu tempat di jalur rel kereta ini. Sebuah malapetaka
mengerikan akan terjadi. Aku yakin dengan yang ketiga kali ini, setelah
mengetahui apa yang terjadi dua kali sebelumnya. Tapi aku sangat ketakutan
dibuatnya. Apa yang harus kulakukan?”
Dia
mengeluarkan sapu tangannya dan mengusap tetesan keringat dari keningnya yang
mulai menghangat.
“Kalau aku
mengirim telegram Peringatan Bahaya ke salah satu atau kedua jalur, aku tidak
dapat memberikan alasan,” lanjutnya sambil mengusap telapak tangannya. “Aku
bisa kena masalah, dan tidak ada untungnya bagiku. Mereka akan berpikir kalau
aku sudah gila. Kejadiannya akan seperti ini—Pesan: ‘Bahaya! Hati-hati!’
Balasan: ‘Bahaya apa? Di mana?’ Pesan: ‘Tidak tahu. Tapi hati-hatilah!’ Mereka
pun akan memecatku. Apa lagi yang harus mereka lakukan?”
Kegalauan
pikirannya terlihat sangat memilukan. Ini merupakan siksaan mental bagi orang
waras yang ditekan jauh di luar batas kemampuan oleh sebuah tanggung jawab
bodoh yang menyangkut nyawa manusia.
“Ketika dia
pertama kali berdiri di bawah lampu Tanda Bahaya,” lanjutnya sambil menyisir
rambut hitamnya ke belakang, dan mengusap-usap keningnya seperti orang yang
terkena demam tinggi, “kenapa dia tidak mengatakan padaku di mana kejadian itu
akan terjadi, jika itu memang harus terjadi? Kenapa tidak mengatakan padaku
bagaimana cara mencegahnya, jika bisa dicegah? Ketika dia muncul kedua kalinya,
daripada menutup wajahnya, kenapa dia tidak berkata, ‘Wanita itu akan mati.
Buat keluarganya mencegahnya keluar rumah’? Jika dia muncul pada dua kesempatan
itu hanya untuk menunjukkan bahwa peringatannya benar, dan untuk membuatku siap
menghadapi yang ketiga, kenapa dia tidak memperingatiku dengan blak-blakan
sekarang? Sedangkan aku, semoga Tuhan menolongku! hanyalah seorang penjaga
perlintasan kereta di pos jaga terpencil! Kenapa dia tidak menemui seseorang
yang dapat dipercaya, dan kekuasaan untuk bertindak?”
Ketika aku
melihatnya dalam kondisi seperti ini, aku merasa satu-satunya hal yang dapat
kulakukan sekarang untuk lelaki malang ini, juga untuk keamanan publik, adalah
menenangkan pikirannya. Oleh karena itu, dengan mengesampingkan pertanyaan
apakah ini nyata atau tidak, kukatakan padanya bahwa siapapun yang
membebaskannya dari tugas harus dapat bekerja dengan baik, dan paling tidak dia
harus paham dengan tugasnya, walaupun dia tidak dapat memahami Penampakan
terkutuk ini. Kali ini usahaku bisa dikatakan jauh berhasil daripada usahaku
saat mencoba mengubah pendiriannya tadi. Dia menjadi tenang.
Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukannya malam ini menuntut banyak
perhatiannya. Aku pun meninggalkannya jam dua pagi. Aku menawarkan diri untuk
bermalam dengannya, tapi dia menolak.
Jujur saja,
lebih dari sekali aku melihat lampu merah tersebut sembari mendaki jalan,
perasaanku terganggu saat melihat lampu itu, dan tidurku pasti tidak akan
nyaman jika kasurku diletakkan di bawahnya, tidak ada alasan bagiku untuk tidak
mengakui ini. Aku juga merasa terganggu dengan peristiwa kecelakaan dan gadis
yang meninggal itu. Aku juga tidak punya alasan untuk menutupi itu.
Tapi apa
yang paling kupikirkan adalah bagaimana aku harus bersikap setelah mengetahui
hal seaneh ini? Aku telah membuktikan diriku sebagai orang yang cerdas,
waspada, teliti, dan cermat, tapi berapa lama dia bisa bertahan sewaras itu?
Walaupun dia masih menunjukkan tanda-tanda bahwa dia masih dapat dipercaya
untuk menjalankan tugasnya seperti biasa, apakah aku mau mempertaruhkan nyawaku
untuk membuktikannya?
Karena tidak
sopan rasanya bagiku mengkhianatinya dengan mengadukannya pada atasannya di
perusahaan tanpa berterus terang padanya terlebih dahulu dan mencari jalan
tengah, akhirnya aku menawarkan diri untuk menemaninya menemui seorang praktisi
medis terkemuka yang dapat kami temui di daerah tersebut dan meminta pendapat
profesionalnya. Dia memberitahuku bahwa jadwal tugasnya akan berganti besok
malam, dan dia akan pulang satu atau dua jam setelah matahari terbit, dan mulai
bertugas lagi setelah matahari terbenam. Aku putuskan akan kembali kemari besok
malam.
Suasana esok
malamnya terasa menyenangkan, aku pun berjalan lebih awal untuk menikmatinya.
Matahari belum sepenuhnya terbenam saat aku melintasi jalan dekat ujung
pengkolan. Aku akan memperpanjang waktu jalan-jalanku selama satu jam,
bantinku, berjalan pergi selama setengah jam, dan pulang selama setengah jam,
lalu tibalah saatnya bagiku untuk menemui penjaga perlintasan.
Sebelum aku
memulai jalan-jalanku, aku melangkah ke pinggir, dan secara otomatis melihat ke
bawah, dari tempat pertama kali aku melihatnya. Aku tidak dapat mengungkapkan
getaran dalam jiwaku saat aku melihat, di dekat mulut terowongan, ada
penampakan sesosok manusia dengan lengan kirinya menutupi mata sambil
melambaikan tangan kanannya dengan keras.
Kengerian
yang menekan jiwaku berlalu dengan cepat, karena sekilas aku melihat bahwa
penampakan ini memanglah seorang manusia, dan ada sekumpulan kecil orang yang
berdiri tidak jauh darinya. Dia tampak seperti melatih sikap melambaikan
tangannya dengan mereka. Lampu Tanda Bahaya belum menyala. Di depan palang, ada
tenda kecil yang dibuat dari kayu dan terpal. Aku tidak pernah melihat tenda
itu ada di sana sebelumnya. Ukurannya tidak lebih besar daripada kasur.
Dengan
firasat kuat bahwa ada hal yang sangat janggal—dengan ketakutan dan rasa
bersalah bahwa kalau saja telah terjadi kekacauan fatal karena aku telah
meninggalkan pria itu seorang diri di sana, sehingga tidak ada orang yang dapat
mencegah tindakannya—aku menuruni jalan berliku secepat yang kubisa.
“Ada apa?”
tanyaku pada gerombolan orang di sana.
“Penjaga
perlintasan itu tewas pagi ini, sir.”
“Maksudmu
penjaga perlintasan yang posnya di sana itu?”
“Ya, sir.”
“Apa aku
dapat mengenalinya?”
“Kau pasti
bisa mengenalinya, sir, kalau kau memang tahu dia,” ujar pria yang berbicara
mewakili yang lain. Dia melepaskan topinya dan menaikkan ujung terpal, “karena
wajahnya terlihat sangat tenang.”
“Astaga,
astaga, bagaimana ini bisa terjadi?” tanyaku dengan menatap satu per satu orang
di sana ketika terpalnya ditutup kembali.
“Dia
tertabrak kereta, sir. Tidak ada satupun orang di Inggris yang lebih tahu
tentang pekerjaannya. Tapi entah kenapa saat itu dia malah berada di pinggir
rel. Kejadiannya terjadi pada tengah hari. Dia menyalakan senter dan
memegangnya di tangan. Saat kereta muncul dari dalam terowongan, dia tampak
memunggunginya, dan kereta itu pun menabraknya. Masinis yang mengemudikan
kereta menjelaskan kejadiannya. Ceritakan padanya, Tom.”
Seorang pria
yang mengenakan pakaian hitam kasar melangkah maju dari tempatnya berdiri di
mulut terowongan.
“Kereta
datang dari tikungan di dalam terowongan, sir” ucapnya, “dan aku melihat dengan
jelas pria itu berdiri di ujung terowongan. Tidak ada waktu untuk mengecek
kecepatan kereta, dan aku tahu dia orang yang selalu berhati-hati. Karena dia
kelihatannya tidak mengindahkan peluit kereta, maka kumatikan peluitnya ketika
kereta sudah dekat dengannya, dan aku pun bereteriak padanya sekencang
mungkin.”
“Apa yang
kau teriakkan?”
“Aku
beretriak, ‘Yang di bawah sana! Awas! Awas! Ya Tuhan, minggir!”
Aku terkejut
mendengarnya.
“Ah, waktu
itu sungguh mengerikan sekali, sir. Aku tidak henti-hentinya berteriak padanya.
Aku menutup mata dengan lenganku ini karena tidak sanggup membayangkan apa yang
akan kulihat, dan kulambaikan tangan ini sekencang-kencangnya, tapi itu semua
sia-sia.”
Tanpa
bertele-tele untuk membuat kejadian aneh ini semakin aneh, maka izinkan aku
untuk menutupnya dengan menekankan kebetulan yang terjadi; peringatan dan
gerakan si masinis, yang ditirukan oleh penjaga perlintasan kepadaku untuk
menceritakan hal yang menghantuinya, juga sikap meratap sambil bersandar di
tiang lampu yang aku—bukan dia—tambahkan ke sikap yang ditirukannya.
[selesai]
Comments
Post a Comment