Skeleton Lake
Skeleton Lake: An Episode in Camp
Pengarang:
Algernon Blackwood
Penerjemah:
Harum Wibowo
Suasana sunyi nan mencekam menyelimuti perkemahan kami
di Danau Tengkorak yang berada di tengah hutan Quebec. Tempat ini dapat
dijangkau dengan menapaki jalan kecil atau menggunakan sampan selama lima hari
dari pemukiman terdekat. Keganjilan namanya menambah sensasi angker yang dapat
kami rasakan dengan jelas. Begitu matahari terbenam dan kabut mulai merangkak
dari dalam danau, keangkeran yang mencekam ini dapat berubah menjadi tak
tertahankan.
Di sekitar daerah ini,
semua nama danau, bukit, dan pulau berasal dari kejadian nyata. Bisa dari nama
ketua tim yang pertama kali menjelajahinya, seperti Smith’s Ridge, atau dari
keistimewaannya, seperti Long Island (Pulau Tak Berujung), Deep Rapids (Sungai
Tanpa Dasar), atau Rainy Lake (Danau Lembab).
Dengan kata lain, semua nama tempat di sini memiliki
makna dan biasanya baru-baru ini disematkan. Acapkali semua nama itu dapat
dipahami dengan mendatanginya secara langsung. Danau Tengkorak adalah nama yang
sarat akan makna, walaupun kami tidak tahu cerita mengenai asal-muasal namanya,
kami semua dapat sepenuhnya merasakan atmosfer suram yang menghantui tepian
danau. Kalau bukan karena adanya bukti jejak rusa yang cukup baru di sekitar
sini, kami pasti sudah memilih mendirikan tenda di tempat lain.
Setahuku, ada dua orang orang kulit putih yang
mendirikan tenda sekitar beberapa ratus mil dari kami. Mereka duduk bersama
kami di dalam kereta dari North Bay sampai ke Boston. Tujuan yang sama membuat
kami saling berkenalan, namun hanya sedikit yang kami ketahui tentang satu sama
lain. Kami tidak sudi jika orang Yankee[1] yang suka ribut ini menjadi teman
kemah. Kedekatan kami dengannya hanyalah disebabkan karena pemandunya, Jake,
yang berasal dari Swedia, berteman dengan salah satu anggota di kelompok kami.
Sekarang mereka mendirikan kemah di Beaver Creek yang berjarak lima puluh mil
lebih dari perkemahan kami.
Tapi itu enam minggu yang lalu, dan terasa
berbulan-bulan bagi kami karena siang dan malam terasa berganti dengan sangat
perlahan di tempat yang sunyi ini. Anggota kelompok kami selalu memberi
peringatan, “Hati-hati jika ada yang melihat mereka!” Namun sampai saat ini
belum ada yang pernah berpapasan ataupun mendengar suara tembakan senapan
mereka.
Anggota perkemahan kami terdiri dari seorang professor
dan istrinya—wanita yang lihai sekaligus penembak jitu—dan aku sendiri. Kami
memiliki pemandu masing-masing dan setiap hari pergi berburu secara bergantian
dengan berpasangan sejak matahari terbit sampai malam.
Saat itu merupakan malam terakhir kami berkemah di
sana, dan professor sedang berbaring di dalam tenda kecilku sambil menjelaskan
bahayanya berburu secara berpasangan tanpa ditemani pasangan yang lain. Tutup
tenda kugantung ke atas dan masuklah aroma masakan dari arah perapian terbuka.
Di sana, orang-orang sedang sibuk mempersiapkan makan malam dan tidak jauh dari
mereka, sebuah sampan telah terisi penuh dengan tanduk rusa.
“Jika terjadi sesuatu pada salah satu dari mereka,”
ujar professor, “maka cerita dari satu-satunya orang yang selamat tidak akan
dapat dibuktikan kebenarannya, karena–”
Kemudian dia menjelaskan hukum dengan panjang lebar
layaknya seorang professor sampai aku sendiri menjadi bosan dan pikiranku
melayang membayangkan kenangan pemandangan indah dari tempat yang akan kami
tinggalkan; Garden Lake yang di tengahnya berisi ratusan pulau, arus jeram di
Round Pound, hamparan hutan yang hampir tak berujung, warna langit yang merah
keemasan saat matahari terbit, dan langit yang penuh bintang di malam-malam
yang kami habiskan dalam dingin untuk berjaga jika ada seekor rusa yang
berjalan di sekitar danau yang kesepian. Tidak lama kemudian, senandung suara
professor semakin menentramkan hati. Baginya, angggukan atau gelengan kepala
sudah cukup sebagai jawaban. Untungnya dia tidak suka dipotong jika sedang
berbicara. Kurasa aku bisa tertidur tepat di depan matanya, atau mungkin aku
memang sudah tertidur sejenak.
Tiba-tiba, terjadilah sebuah tragedi yang mengubah
ketentraman di perkemahan kami menjadi kekacauan yang seakan-akan keluar dari
mimpi burukku.
Awalnya professor tercengang dan berhenti bicara,
kemudian terdengar suara langkah seseorang yang berlari melewati barisan pohon
pinus, lalu suara kebingungan orang-orang. Sejurus kemudian, istri professor
sudah berdiri di depan pintu tenda dengan wajah pucat pasi. Dia tidak mengenkan
topi, celana berburunya kusut masai, tangannya memegang senapan, dan
kata-katanya berantakan.
“Cepat, Harry! Itu Rushton. Tadi aku tertidur dan
suaranya membangunkanku. Ada yang terjadi. Kau harus menanganinya!”
Kami segera mengambil senapan dan keluar dari tenda.
“Ya Tuhan!” Seru
professor seolah dia baru menemukan sesuatu yang luar biasa. “ItuRushton!”
Aku melihat para pemandu membantu—atau lebih tepatnya
menyeret—seseorang dari dalam sampan. Suasana berubah hening, satu-satunya
suara yang terdengar hanyalah suara ombak yang menyapu sampan ke tepian danau.
Tak lama kemudian terdengarlah suara seseorang yang berbicara secepat kilat
namun terbata-bata. Rushton sedang menceritakan apa yang terjadi dengan nada
yang terkadang terdengar seperti berbisik dan terkadang hampir berteriak.
Selama berbicara, dia berkali-kali menangis dan bersumpah. Ada sesuatu yang
bergerak secara diam-diam dari balik kata-katanya, sesuatu yang menyelimuti
bintang-bintang, mengacaukan ketentraman di perkemahan, dan menyentuh kami
dengan rasa tidak percaya.
Ingatan akan suasana saat itu masih melekat jelas
dalam benakku. Kabut mulai merambat dari ujung danau. Kami berdiri di tengah
pekatnya kegelapan dengan ditemani lentera kecil. Rushton diangkut dan dipandu
untuk berjalan menuju perkemahan. Sementara itu, tidak ada yang mengeluarkan
sepatah katapun. Sepatu mereka sekali-kali terbenam dalam pasir di pinggir
danau, dan tubuh Rushton yang sudah hampir tidak berdaya diangkut dengan
terseok-seok. Sebuah cabang pohon cedar yang digunakannya sebagai dayung
berbaring di dalam sampan.
Tapi yang paling mengejutkan kami adalah perbedaan
yang jelas antara tubuhnya yang sudah tidak lagi bertenaga dan kekencangan
suaranya. Ada kekuatan yang mendorongnya menceritakan seluruh kisahnya yang
penuh dengan keganjilan. Awalnya aku terkesima karena dia masih kuat untuk
duduk di dekat perapian walaupun wajahnya sudah pucat pasi. Aku melihat ada
ketakutan yang dalam di matanya, juga air mata. Kata-katanya mengalir tanpa
henti.
Menurutku kami semua sudah tahu apa yang terjadi,
namun tidak berani mengungkapkannya. Ketika beberapa tahun telah berlalu,
barulah kami berani mengungkapkan apa yang kami pikirkan pada waktu itu.
Saat itu ada Matt Morris, pemanduku. Silver Fizz yang
namanya berasal dari minuman favoritnya, sedangkan nama aslinya tidak kami
ketahui. Si raksasa, Hank Milligan, yang juga merupakan seorang pendengar yang
baik dan ramah. Dan ada Rushton yang sedang menceritakan kisahnya dengan
tatapan nanar. Dia memandang semua orang yang duduk di sana satu persatu sambil
berharap jika ada salah satu di antara kami yang dapat mengonfirmasi kisah yang
sama sekali tidak pernah kami saksikan. Tentu saja hanya ada dua orang yang
dapat melakukannya; dia dan teman berburunya.
Silver Fizz adalah orang pertama di antara kami yang
pulih dari keterkejutan dan menyadari bahwa Rushton sedang berada dalam posisi
yang buruk. Intinya, dialah orang pertama yang berusaha meluruskan situasi
tersebut.
“Tidak perlu cerita sekarang,” ujarnya dengan suara
serak namun penuh kelembutan, “makanlah dulu, kemudian barulah bercerita. Minum
whisky ini, mumpung belum dibungkus untuk dibawa pulang.”
“Aku tidak bisa makan
atau minum,” tangis Rushton. “Ya Tuhan, kau ngerti ‘nggak? Aku mau menceritakan ini dulu! Aku ingin mengatakannya ke
seorang manusia yang dapat meresponku. Tidak ada seorangpun yang dapat
mendengar kisahku selain pepohonan selama tiga hari ini, dan aku sudah tidak
tahan lagi! Aku sudah menceritakan kisahku pada pepohonan terkutuk itu beribu
kali! Sekarang, dengar! Ketika kami mulai berjalan dari perkemahan—“
Fizz memandangnya dengan ekspresi ketakutan, dan kami
sadar bahwa tidak ada yang dapat menghentikannya sekarang. Maka mulailah dia
bercerita.
Tidak ada yang luar biasa dari kisahnya. Bagi
orang-orang yang sudah biasa malang-melintang di hutan, cerita itu terdengar
biasa saja. Hanya saja caranya bercerita membuat bulu roma kami berdiri.
Awalnya dia menceritakan kejadian yang sebenarnya, namun beberapa saat kemudian
ada beberapa rincian yang sengaja dilewatkannya; bagian yang seharusnya dapat
membuat hatinya tenang jika telah diceritakan.
Tentu saja dia memperhalus kata-katanya dengan
menyelipkan kata-kata aneh yang terdengar melodramatis, puitis, dan bahkan
tidak sesuai. Semua itu membuat ceritanya semakin gila. Dia juga tidak
henti-hentinya menanyai kami secara bergantian sambil melototi wajah kami satu
per satu dengan matanya yang ketakutan, “Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau
lakukan pada saat seperti itu?” “Apa lagi yang bisa kulakukan?” dan “Apa itu
salahku?” Tapi itu belum seberapa dibanding dengan caranya bercerita; dia
meminta kami menyimpulkan kisahnya seolah kami adalah mesin fonograf yang bisa
mengulangi apa yang telah dikatakannya dengan persis dan pertanyaan-pertanyaan
tadi digunakannya untuk menekankan maksud tertentu yang menurutnya sangat
penting untuk ditekankan.
Sayangnya, gambaran kejadian yang sebenarnya telah
melekat dalam benak Rushton, sehingga walaupun dia berusaha menutup-nutupinya
dengan kata-kata yang membingungkan, kami tetap dapat melihat gambar-gambar
tersebut terbentang dengan jelas di balik bayangan hitam yang menyelimuti
dirinya. Dia tidak dapat menghalangi atau bahkan melenyapkan bayangan tersebut.
Kami tahu, dan aku masih yakin bahwa pada saat itu dia tahu bahwa kami
mengetahuinya.
Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, cerita itu
sendiri terdengar cukup biasa. Jake dan dia berangkat dari perkemahan. Mereka
naik ke sampan yang berukuran sekitar dua setengah meter. Di tengah-tengah
perjalanan, sampan yang mereka tumpangi terbalik. Mereka saling berpegangan
tangan di atas sampan yang terbalik selama beberapa jam. Kemudian membolongi
sampan, memasukkan tangan ke lubang, dan berpegangan lebih erat agar tidak mati
kedinginan karena tubuh mereka masih berada di dalam air. Sementara itu, mereka
berada jauh dari pesisir danau, dan angin yang saat itu berhembus dengan
kencang menyeret sampan ke sebuah pulau kecil. Namun ketika mereka sudah berada
beberapa meter dari pulau, mereka sadar bahwa angin tidak akan menyeret sampan
ke sana. Angin akan membuat mereka tetap terhanyut dan melewatinya.
Maka mulailah mereka
bertengkar. Jake ingin meninggalkan sampan dan berenang ke pulau. Rushton
percaya bahwa kalau mereka menunggu sampai sampan melewati pulau dan angin
kembali tenang, maka mereka bisa mencapai pulau tersebut dengan berenang atau
bahkan dengan menggunakan sampan. Tapi Jake tidak ingin menyerah begitu saja.
Setelah mereka berkelahi—Rushton mengakui bahwa mereka sempat berkelahi—Jake
meninggalkan sampan dan menghilang tanpa suara.
Rushton masih bertahan dan ternyata teorinya benar.
Dia pun berhasil sampai di pulau bersama sampannya setelah terombang-ambing di
air selama lebih dari lima jam. Dia menceritakan kepada kami bagaimana dia
merangkak ke pesisir pulau dan langsung jatuh pingsan dengan kakinya masih
berada di dalam air; betapa bingung dan ketakutannya dia saat tersadar di
tengah-tengah kegelapan; bagaimana sampannya kembali terhanyut namun—dengan
kebetulan yang luar biasa—ditemukannya kembali di ujung pulau dengan
menyeretnya menggunakan cabang pohon cedar. Dia juga mengatakan bahwa—secara
kebetulan—sebuah kapak kecil masih tersangkut di dalam sampan yang terbalik,
dan untungnya botol kecil di dalam kantong celananya yang berisi korek api
masih utuh dan kering. Dia membuat api unggun dan menjelajahi pulau dari ujung
ke ujung sambil memanggil-manggil Jake, namun tidak ada balasan, sampai
akhirnya dia melihat bayangan orang-orang merangkak dari pesisir pantai dan
menghilang di tengah-tengah kegelapan yang menyelimutinya. Dia pun kehilangan
seluruh nyali dan kembali ke perapian yang telah dibuatnya tadi lalu memutuskan
untuk menunggu sampai matahari terbit.
Esoknya dia memotong sebuah cabang pohon sebagai
pengganti dayung, dan setelah melakukan pencarian terakhir yang juga tidak
membuahkan hasil, dia naik ke dalam sampan. Dia takut jika sampannya akan
kembali terbalik dan membuatnya terombang ambing di tengah perairan. Dia hanya
dapat mengira-ngira posisi perkemahan kami, dan setelah mengayuh dari pagi
sampai malam tanpa makanan ataupun minuman, dua hari kemudian, dia berhasil
sampai kemari.
Kurang lebih begitulah ceritanya, dan dari caranya
berbicara, kami tahu bahwa semua yang dikatakannya benar, namun pada saat yang
sama kata-katanya juga membangun sebuah kebohongan yang luar biasa menyeramkan.
Ketika kisahnya berakhir, dia langsung jatuh pingsan,
dan dengan ekspresi wajah yang penuh simpati, Silver Fizz kembali menolongnya.
“Mister, kau harus tetap makan dan minum walaupun dalam
keadaan tidak sadar.”
Matt Morris yang pada malam itu bertugas sebagai juru
masak, segera membagikan tuna, bacon, kue gandum, dan kopi panas ke seluruh
orang yang duduk dengan sangat diam dan perasaan yang bercampur aduk. Kami pun
makan dengan lahap seperti biasa, kecuali dengan satu perbedaan, yaitu salah
satu dari kami makan dengan sangat rakus.
Walaupun kami semua masih curiga, entah bagaimana dia
malah membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Ketika gelasnya kosong, Morris
memberikannya ceret teh. Ketika dia mulai membersihkan sisa-sisa baconnya, Hank
segera menambahkan makanannya dari kuali penggorengan, dan baskom yang berisi
kentang rebus selalu berada di dekatnya. Dan satu perbedaan lagi; dia terlihat
sangat sakit, bahkan sebelum makan malam selesai, dan muntahnya yang tiba-tiba
setelah makan, terasa jauh lebih jujur dibanding kisah yang dilontarkannya
tadi. Katanya, di tengah-tengah kegelapan, pikirannya hampir menjadi gila.
Pohon-pohon terdengar berbicara padanya, dan matanya selalu melihat bayangan
orang-orang merangkak dari dalam air, atau dari balik batu besar, lalu
menatapnya sambil berusaha berbicara padanya melalui gerakan-gerakan mereka.
Jake terus menerus mengintipnya dari balik rerumputan yang rimbun, sementara
bayangan-bayangan tadi berjalan ke mana-mana dengan tatapan, langkah, dan
bentuk yang sama.
Kami mencoba untuk membicarakan hal lain, tapi itu
sia-sia, karena Rushton selalu mengulangi ceritanya dan menolak jika diajak
berbicara mengenai topik lain. Kami pikir, jika dia beristirahat sepanjang
malam, pikirannya akan menjadi lebih tenang dan mungkin akan bersikap berbeda.
Tapi ternyata kondisinya sudah tidak tertolong lagi.
Begitu rokok dinyalakan dan piring-piring
disingkirkan, kami pikir tidak ada gunanya lagi berpura-pura. Percikan api dari
bara kayu terbang ke langit yang dihiasi bintang-bintang. Suasana malam itu
masih terasa damai dan tenteram, dan aroma pohon pinus berhembus bersama angin
di musim gugur. Api yang membakar kayu cedar bagaikan wewangian di udara, dan
samar-samar kami dapat mendengar ombak yang menyapu pesisir danau. Semua terasa
begitu tenang, indah, dan jauh dari hiruk-pikuk dunia fana. Suasana di malam
itu begitu menyentuh kalbu namun aku yakin tidak ada satupun dari kami yang
menikmatinya. Seekor rusa raksasa bisa saja menyembulkan kepalanya dari balik
bahu kami dan tetap dapat melarikan diri tanpa ketahuan. Kisah kematian Jake
yang mencekam menjadi pusat perhatian di atas panggung malam itu.
“Mungkin kau tidak mau ikut, Mister,” mulai Morris,
“tapi aku berencana akan melakukan pencarian terhadap Jake dengan salah satu
temanku.”
“Aku ikut,” ujar Hank. “Jake dan aku sudah banyak
melakukan perjalanan bersama di masa lalu; kami teman dekat.”
“Banyak yang bilang kalau air di sekitar pulau sana
sangat dalam,” tambah Silver Fizz, “tapi, ya, tentu kita bisa menemukannya.”
Untuk menghindari kata mayat, mereka memutuskan untuk
menyebutnya ‘itu.’
Kemudian selama beberapa menit semua orang kembali
hening, lalu Rushton menumpahkan ceritanya lagi dengan kata-kata yang hampir sama
seolah dia telah menghafalnya di luar kepala. Dia selalu menolak jika seseorang
memintanya berhenti membicarakan hal tersebut.
Silver Fizz segera berusaha memotongnya, sementara
Morris dan Hank mengikuti aba-abanya.
“Aku pernah kenal dengan teman seperjalanannya yang
lama,” mulainya dengan cepat, “dia tinggal di Moosejaw Rapids—“
“Benarkah?” sahut Hank.
“Kudengar dia sering membantu Jake,” tambah Morris.
Mereka semua sibuk berusaha menghentikan lidah Rushton
sebelum keganjilan kisahnya menjadi sangat jelas sehingga kami terpaksa harus
menginterogasinya. Sebagaimana halnya menghentikan rusa yang berlari mengamuk,
atau mencegah berang-berang agar tidak mati membeku di tengah musim dingin
dengan melempari batu kerikil ke dekat pesisir. Tapi itu sia-sia! Walaupun
keganjilannya kali ini tidak begitu jelas, namun sudah cukup membuat kami
saling memandang untuk kedua kalinya.
“Jadi, aku kembali
mengelilingi pulau kecil itu lagi, berharap entah bagaimana dia sudah berada di
sana tanpa sepengetahuanku, dan aku selalu mengira kalau aku mendengar erangan terakhirnya dari dalam
kegelapan. Kemudian malam pun menyelimuti langit seperti selimut tebal, dan—“
Semua mata beralih dari wajahnya. Hank menyodok kayu
bakar di perapian dengan sepatu botnya, dan Morris meraih bara api dengan
tangan kosong untuk menyalakan pipa rokoknya, walaupun itu sudah mengeluarkan
asap tebal. Namun professor tidak ingin tinggal diam.
“Kupikir kau tadi bilang dia tenggelam tanpa suara,”
komentarnya pelan sambil menatap lurus wajah ketakutan yang ada di hadapannya.
Kemudian, tanpa ampun, dia terus menghujani penjelasannya yang membingungkan
dengan pertanyaan-pertanyaan.
Hasil dari tekanan-tekanan ini, yang sebelumnya terus
dibendung Rushton, sekarang menjadi semakin kentara sehingga membuat semua
orang bergerak secara bersamaan. Istri professor meninggalkan perapian dengan
tergesa-gesa, alasannya dia ingin bangun pagi-pagi besok. Sebelum itu, dia
bersalaman dengan Rushton dan mengucapkan selamat malam dengan nada yang
terdengar seperti komat-kamit.
Saat menjelang tidur, aku terpaksa harus berbagi tenda
dengan Rushton. Sebelum menyelimuti dirinya dengan selimut tebalku—karena malam
itu sangat dingin—Rushton berbalik dan mengatakan bahwa dia memiliki kebiasaan
berbicara dalam tidurnya dan ingin aku membangunkannya jika hal itu mengganggu
tidurku.
Ternyata, dia memang berbicara dalam tidurnya—dan hal
itu amat sangat menggangguku. Amarah dan kekasaran kata-katanya masih
menghantuiku sampai saat ini, dan jelas dalam tidurnya dia menceritakan
sebagian kisah dari kejadian yang sebenarnya. Aku ketakutan setengah mati
mendengarnya. Lalu aku sadar, kini ada dua pilihan di hadapanku; aku harus lanjut
mendengarnya, atau aku harus membangunkannya. Pilihan pertama tidak mungkin
bagiku, namun pilihan kedua terasa sangat menjijikkan, dan di tengah-tengah
dilema aku melihat sebuah jalan keluar.
Walaupun udara sangat dingin, aku merangkak dengan
perlahan dan meninggalkan tenda, berniat untuk menjaga perapian tetap menyala
di bawah langit berbintang dan menghabiskan sisa malam dengan tidur di alam
terbuka.
Segera setelah aku berhasil keluar dari tenda, aku
melihat bayangan sesosok orang sedang berjalan di pinggir danau. Sosok itu
adalah Hank Milligan, dan aku dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukannya;
dia sedang memeriksa lubang yang dibuat di badan sampan. Kelihatannya dia
merasa malu ketika aku mendekatinya, dan mengatakan bahwa dia tidak dapat tidur
karena kedinginan. Tapi, sambil berdiri bersebelahan, kami melihat bahwa lubang
di sampan tersebut terlalu kecil untuk dimasuki tangan orang dewasa, dan tidak
mungkin dilubangi oleh dua orang yang sedang berusaha bertahan hidup di air
yang sangat dalam. Lubang tersebut pasti dibuat setelahnya.
Hank tidak mengatakan apa-apa padaku dan begitu juga
aku. Kemudian dia pergi mengumpulkan kayu untuk perapian karena malam itu
sangat dingin dan embun es mulai menebal.
Tiga hari kemudian Hank dan Silver Fizz, dengan berjalan
tertatih-tatih, mengikuti jalan kecil dari Beaver Creek ke arah selatan. Mereka
membawa sebuah tandu yang terlihat sangat berat, namun tidak ada satupun dari
mereka yang mengeluh atau bahkan berbicara. Walaupun begitu, pikiran mereka
luar biasa sibuk, dan rahasia mengerikan yang mereka emban jauh lebih berat
daripada gumpalan yang membebani pundak mereka.
Mereka menemukan ‘itu’ di perairan yang berada sekitar
beberapa meter dari pesisir teduh di pulau. Di belakang kepalanya terdapat
sebuah luka panjang dan mengerikan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh
seseorang pada dirinya sendiri.
Catatan Penerjemah:
[1]
Yankee; Panggilan yang menghina untuk orang Amerika.
Comments
Post a Comment