The Happy Prince (Pangeran Bahagia)
The Happy Prince
(Pangeran Bahagia)
Pengarang: Oscar Wilde
Penerjemah: Harum Wibowo
D
|
i tengah alun-alun kota, terdapat sebuah patung
yang sangat indah. Patung tersebut didirikan di atas pasak yang menjulang
tinggi, sehingga jika ada seseorang yang memanjat ke atasnya, maka dia akan
dapat melihat ke seluruh penjuru kota. Patung itu pada dasarnya tidaklah
terbuat dari emas, namun seluruh tubuhnya dihiasi oleh batu-batu permata. Dua
batu safir yang berkiluan melekat di matanya, helai-helai dedaunan yang terbuat
dari emas menutupi tubuhnya, dan sebuah batu rubi bersinar dari pangkal
pedangnya. Orang-orang menyebutnya Pangeran Bahagia.
Semua orang
di kota terpana akan keelokan serta kemegahannya. “Sungguh karya seni yang
indah,” komentar salah seorang Dewan Kota yang ingin dipuji karena memiliki
cita rasa seni, “hanya saja tidak begitu berguna,” tambahnya karena takut
dianggap tidak praktikal, walaupun sebenarnya dia memang tidak.
“Kenapa kau
tidak bisa bersikap seperti Pangeran Bahagia?” tuntut seorang ibu yang bayinya
terus menangis meminta bulan. “Pangeran Bahagia tidak pernah menangis karena
meminta apapun.”
“Syukurlah
di dunia ini masih ada orang yang sangat bahagia,” ucap seorang pria yang
selalu tampak kecewa sambil memandang patung itu dengan tatapan sayu.
“Dia seperti
malaikat,” sahut anak-anak yang baru pulang dari sekolahnya. Mereka masih
mengenakan baju seragam putih bersih.
“Memangnya
kalian tahu malaikat itu seperti apa?” sela seorang profesor, “aku yakin kalian
tidak pernah melihat malaikat.”
“Tentu saja
kami pernah melihatnya dalam mimpi,” jawab mereka, dan profesor pun mengerutkan
alisnya dan menatap mereka dengan tajam karena dia tidak menganggap mimpi
anak-anak dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat.
Pada suatu
malam, seekor burung Layang-Layang terbang di langit kota. Teman-temannya telah
terbang ke Mesir enam minggu lalu, tapi tidak dengannya, karena dia sedang
jatuh cinta pada seekor burung Pipit yang cantik. Dia pertama kali melihatnya
saat sedang mengejar kupu-kupu di awal musim semi. Kecantikan burung pipit
tersebut membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Izinkanlah
aku untuk mencintaimu.” Ungkap si burung Layang-Layang yang suka langsung
berterus terang dan burung Pipit itu pun mengangguk pelan. Dengan hati yang
girang, dia terbang mengitarinya. Kemudian dia terbang di sekitar sungai dan sekali-kali
sayapnya menyentuh permukaan air dan menimbulkan riak-riak air yang keperakan.
Beginilah caranya meminang lawan jenis dan prosesi itu pun berlangsung
sepanjang musim panas.
“Sungguh
kisah cinta yang gila,” cicit burung Layang-Layang lain, “burung betina itu
tidak punya harta sama sekali dan anggota keluarganya sangat banyak”. Sungai
itu memang dihinggapi oleh banyak burung pipit. Kemudian saat musim gugur tiba,
mereka semua terbang meninggalkannya.
Setelah
kelompoknya pergi, burung Layang-Layang merasa kesepian dan mulai merasa bosan
dengan kekasihnya. “Dia tidak banyak bicara,” batinnya, “dan mungkin saja dia
wanita genit karena dia selalu tampak saling menggoda dengan angin.” Dan benar
saja, setiap kali angin berhembus, burung Pipit selalu dengan anggunnya
membungkuk dan menyembah. “Kuakui sifatnya memang keibuan,” lanjutnya, “tapi
aku suka bepergian, dan seharusnya kekasihku harus menyukainya juga.”
“Ikutlah
denganku.” Pinta burung Layang-Layang. Burung Pipit hanya menggelengkan kepala,
dia sangat menyukai tempat tinggalnya yang sekarang sehingga tidak ingin pergi
dari sana.
Burung
Layang-Layang tampak kecewa padanya. “Sejak awal kau memang tidak pernah serius
denganku!” teriaknya. “Aku akan pergi ke Piramid, sekarang. Selamat tinggal!”
Dia pun beranjak pergi.
Sepanjang
hari itu dia habiskan dengan terbang tanpa arah, dan malam harinya dia tiba di
sebuah kota. “Di mana aku bisa beristirahat?” gumamnya. “Kuharap ada tempat
untukku singgah di kota ini.”
Pandangannya
lalu tertuju pada sebuah patung yang berdiri tegak di atas pasak yang tinggi.
“Aku akan
beristirahat di sana,” batinnya, “tempatnya kelihatan nyaman dan banyak udara
segar.” Dia pun singgah di antara kedua kaki Pangeran Bahagia.
“Tempat
tidurku terbuat dari emas,” batinnya dengan puas, lalu dia bersiap-siap untuk
tidur. Namun ketika dia hendak merebahkan kepala di balik sayapnya, setetes air
jatuh ke tubuhnya. “Aneh sekali!” teriaknya karena terkejut. “Tidak ada awan di
langit, bintang-bintang terlihat jelas dan terang benderang, tapi malah hujan.
Iklim di Eropa utara memang sangat buruk. Kekasihku dulu suka hujan, tapi itu
karena dia egois.”
Kemudian
setetes air jatuh lagi ke atas tubuhnya.
“Apa gunanya
patung ini kalau tidak bisa menghalau hujan?” omelnya, “Lebih baik aku cari
cerobong asap yang ada atapnya saja.”
Saat dia
hendak mengepakkan sayapnya untuk terbang, tetesan ketiga jatuh lagi. Dia pun
mendongak dan melihat—Ah! Apa yang dilihatnya?
Sang
Pangeran Bahagia sedang menangis, dan air matanya meluap membasahi pipi
emasnya. Di bawah sinar rembulan, wajahnya terlihat sangat indah sehingga
burung Layang-Layang merasa iba dengannya.
“Siapa kau?”
tanyanya.
“Aku
Pangeran Bahagia.”
“Kalau
begitu, kenapa kau menangis?” Tanya burung Layang-Layang, “kau membuatku basah
kuyup.”
“Ketika aku
masih hidup dan memiliki hati manusia,” jawabnya, “aku tidak mengenal air mata,
karena aku tinggal di Istana Sans Souci di mana kesedihan tidak diizinkan
masuk. Pada siang hari, aku bermain dengan teman-temanku di taman, dan malam
harinya aku mengadakan pesta tari di Aula Istana. Dinding yang tinggi berdiri
kokoh di sepanjang taman, tapi aku tidak pernah bertanya apa yang ada di
baliknya, segala hal di sekitarku sangat sempurna. Para penasehat kerajaan
memanggilku Pangeran Bahagia, dan dulu aku memang selalu bahagia—jika
kesenangan dapat dianggap sebagai kebahagiaan. Semua itu tidak berubah sampai
aku meninggal. Dan sekarang aku sudah meninggal—mereka menegakkanku di tempat
yang sangat tinggi sehingga aku dapat melihat semua penderitaan di kotaku.
Walaupun hatiku terbuat dari baja, aku tetap tidak dapat menahan tangis
kesedihanku.”
“Apa! Jadi
dia tidak sepenuhnya terbuat dari emas?” batin burung Layang-Layang. Dia tidak
mengatakan ini dengan keras agar tidak menyinggung perasaan sang Pangeran.
“Di kejauhan
sana,” lanjut si patung dengan suara pelan, “di jalan yang sempit di kejauhan
sana, ada sebuah gubuk kecil. Salah satu jendelanya terbuka, dan dari sana aku
dapat melihat seorang wanita duduk di samping meja. Wajahnya kurus dan letih,
tangannya kasar dan kemerahan karena tertusuk-tusuk jarum. Tampaknya dia
seorang penjahit. Dia sedang menyulam motif bunga mawar di permukaan kain satin
untuk pendamping mempelai wanita dari sang Ratu. Di sudut kamarnya, seorang
anak kecil terbaring sakit. Badannya demam tinggi dan perutnya kelaparan. Dia
ingin memakan buah apel. Ibunya tidak dapat memberikannya apapun selain air
sungai, sehingga anaknya hanya bisa menangis. Burung Layang-Layang, bisakah kau
membawakan batu rubi yang tertanam di gagang pedangku kepadanya? Kakiku
tertempel di pasak ini sehingga aku tidak dapat bergerak.”
“Tapi aku
akan pergi ke Mesir,” sahut burung Layang-Layang. “Saat ini teman-temanku pasti
sedang beterbangan dengan riangnya di sungai Nil, dan bersenda gurau dengan
bunga-bunga lotus di sana. Lalu mereka akan beristirahat di makam sang Raja
yang berbaring di dalam peti yang terlukis dengan indah.”
“Burung
Layang-Layang,” ucap sang Pangeran, “bersediakah kau tinggal bersamaku untuk
semalam, dan menjadi perantaraku? Anak itu sangat kelaparan, dan ibunya sedang
bersedih.”
“Aku tidak
terlalu suka anak kecil,” jawab burung Layang-Layang. “pada musim panas lalu,
ketika aku sedang beristirahat di sungai, ada dua bocah laki-laki yang nakal,
mereka suka melempariku dengan batu. Tentu saja lemparan mereka tidak pernah
mengenaiku. Kami, para burung layang-layang, terbang dengan sangat cepat, di
samping itu, keluargaku terkenal dengan kegesitannya. Tapi tetap saja tindakan
mereka sangat tidak pantas.”
Wajah sang
Pangeran terlihat begitu sedih sehingga hati si burung Layang-Layang luluh
melihatnya. “Udara di sini dingin sekali,” ujarnya, “tapi, baiklah, aku akan
membantumu malam ini.”
“Terima
kasih banyak, burung Layang-Layang,” ucap sang Pangeran.
Burung
Layang-Layang pun mencopot batu rubi besar dari pedang sang Pangeran, lalu
terbang sambil membawa batu tersebut di paruhnya.
Dia terbang
melewati menara katedral yang dikeliling patung-patung malaikat. Dia melewati
istana kerajaan dan mendengar musik dansa bergema dengan nuansa meriah. Seorang
gadis jelita keluar ke balkon bersama kekasihnya. “Indah sekali bintang-bintang
di langit,” ujar kekasihnya, “mereka merupakan simbol akan betapa agungnya
kekuatan cinta!”
“Kuharap
gaunku dapat selesai sebelum pesta kerajaan dimulai,” ujar si gadis jelita,
“aku sudah menyampaikan pesan agar penjahitnya menambahkan motif bunga mawar,
tapi dia lambat sekali. Kurasa dia seorang pemalas.”
Burung Layang-Layang terus terbang melewati sungai dan
melihat lentera tergantung di tiang kapal. Dia melintasi sebuah Ghetto[1] dan melihat seorang pria yahudi sedang
menawar barang. Akhirnya dia sampai di rumah gubuk yang dimaksud sang Pangeran.
Seorang anak bergelut di atas ranjangnya karena demam yang sangat tinggi,
sedangkan ibunya sudah tertidur; kelihatannya dia sangat letih. Burung
Layang-Layang masuk melalui jendela yang terbuka dan menaruh batu rubi di atas
meja dekat peralatan menjahit. Kemudian dia terbang dengan perlahan di sekitar
ranjang anak tersebut untuk mengipasi keningnya. “Sejuk sekali,” ucapnya,
“pasti aku sudah sembuh,” kemudian dia kembali terlelap dalam mimpinya.
Dia lalu
pulang dan menceritakan pada sang Pangeran apa yang telah dilakukannya. “Aneh
sekali,” komentarnya, “walaupun udara di sekitarku sangat dingin, aku merasa
hangat sekarang.”
“Itu karena
kau telah melakukan perbuatan baik,” jawab sang Pangeran. Burung Layang-Layang
berpikir sejenak lalu tertidur. Berpikir selalu membuatnya mengantuk.
Ketika fajar
mulai menyingsing, dia terbang ke sungai dan mandi di sana. “Sungguh fenomena
yang aneh,” ujar seorang Profesor Ornitologi[2] saat dia sedang melintas di
atas jembatan. “Ada burung Layang-Layang di musim dingin!” Dia pun mengirim
laporan yang sangat panjang ke kantor berita lokal. Saat berita itu beredar,
semua orang memperbincangkannya, namun isinya penuh dengan kata-kata yang tidak
dapat mereka pahami.
“Malam ini
aku akan pergi ke Mesir,” ujar burung Layang-Layang, dan dia sangat bersemangat
untuk terbang. Sebelum memutuskan untuk pergi, dia mengunjungi semua tempat
menarik di kota dan duduk sangat lama di atas menara gereja. Di manapun dia
bertengger, para burung gereja selalu berkicau satu sama lain, “Orang asing itu
aneh sekali!” Namun dia tidak memperdulikan mereka dan tetap menikmati waktu
santainya.
Ketika
rembulan mulai menghiasi langit, dia kembali pulang. “Apa kau mau ikut denganku
ke Mesir?” ajaknya, “kita bisa pergi bersama kalau kau mau.”
“Burung
Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “bisakah kau tinggal semalam lagi di sini?”
“Tapi
teman-temanku sedang menunggu di Mesir,” jawab Burung Layang-Layang. “Besok
teman-temanku akan terbang mengunjungi air terjun yang sangat tinggi di sana.
Kemudian mereka akan terbang menelusuri sungai yang di sekitarnya dikelilingi
oleh rerumputan yang beraneka ragam, lalu singgah di singgasana Dewa Memnon
yang terbuat dari bebatuan granit.”
“Burung
Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “di kejauhan sana, aku melihat seorang
pemuda di loteng rumahnya. Dia sedang duduk di belakang meja yang berserakan,
dan di sampingnya ada sebuah vas bunga. Namun bunga-bunga di dalamnya sudah
layu. Dia sedang menyelesaikan drama untuk Direktur Teater, tapi dia sangat
kedinginan sehingga tidak sanggup untuk menulis lagi. Dia tidak memiliki uang
untuk membeli kayu bakar ataupun makanan, sehingga perapiannya tidak menyala,
dan kelaparan membuatnya tidak sadarkan diri.”
“Baiklah,
aku akan menemanimu satu malam lagi,” sahut burung Layang-Layang yang memiliki
hati yang tulus. “Apa kau ingin memberikannya batu rubi juga?”
“Sayang
sekali aku kehabisan batu rubi,” kata sang Pangeran, “hanya kedua mataku yang
tersisa sekarang. Kedua mataku terbuat dari batu safir langka yang dibawa dari
India seribu tahun silam. Ambillah salah satunya dan bawakan kepadanya. Dia
bisa menjualnya ke pedangang perhiasan sehingga dia dapat membeli kayu bakar
dan menyelesaikan dramanya.”
“Wahai
Pangeran,” ujar burung Layang-Layang, “aku tidak tega melakukannya.” Dia pun
mulai menangis tersedu.
“Burung
Layang-Layang,” jawab sang Pangeran, “lakukanlah apa yang kupinta padamu.”
Dengan berat
hati burung Layang-Layang mencabut batu safir dari mata sang pangeran, dan
terbang ke kamar si pemuda. Sangat mudah baginya untuk masuk ke dalam sana
karena ada lubang di atapnya. Ketika dia sudah masuk, dia melihat tangan pemuda
tersebut melingkar di kepalanya sehingga dia tidak dapat mendengar kepakan
sayap burung Layang-Layang, dan saat dia membuka matanya, dia melihat ada batu
safir yang sangat berkilau di dekat bunga-bunga yang layu.
“Sepertinya
orang-orang mulai menghargaiku,” batinnya dengan girang, “ini pasti dari
seorang pengagum karyaku. Sekarang aku bisa menyelesaikan drama yang sedang
kutulis.” Pemuda itu terlihat sangat bahagia.
Keesokan
harinya burung Layang-Layang terbang ke pelabuhan. Dia bertengger di tiang
kapal yang besar dan memperhatikan para pelaut mengangkut peti-peti besar ke
dalam kapal. “Ayo berlabuh!” teriak mereka setiap kali berhasil mengangkut
sebuah peti ke dalam kapal. “Aku akan ke Mesir!” teriak burung Layang-Layang,
tapi tidak ada seorangpun yang menanggapinya dan ketika bulan kembali
bercahaya, dia pulang ke tempat sang Pangeran.
“Aku datang
untuk mengucapkan selamat tinggal,” kicaunya.
“Burung
Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “bisakah kau tinggal semalam lagi
bersamaku?”
“Sekarang
musim dingin,” jawab burung Layang-Layang, “dan salju akan segera turun di
sini. Sedangkan di Mesir, matahari selalu bersinar hangat. Teman-temanku
sekarang pasti sedang membangun sarang di Kuil Baalbec sambil ditemani oleh
para burung dara yang saling berkicau. Wahai Pangeran, kurasa aku harus
meninggalkanmu, tapi aku tidak akan pernah melupakanmu, dan di musim semi nanti
aku akan membawakanmu dua batu permata yang sangat indah untuk mengganti
perhiasan yang telah kau berikan. Batu rubi yang nanti kubawa akan lebih merah
dari mawar, dan batu safirnya akan sebiru lautan.”
“Di
alun-alun kota,” mulai sang Pangeran, “ada seorang gadis penjual korek api.
Seluruh korek api yang dibawanya jatuh ke parit dan basah. Ayahnya akan
memukuliya kalau dia tidak pulang membawa uang, dan dia pun menangis. Dia tidak
mengenakan sepatu maupun kaus kaki, dan kepala mungilnya tidak tertutupi
apapun. Udara dingin dengan leluasa menyelimuti dirinya. Cabutlah sisa mataku
dan bawakan batu safir itu padanya.
“Baiklah,
aku akan tinggal semalam lagi,” jawab burung Layang-Layang, “tapi aku tidak
ingin mencabut matamu. Nanti kau bisa buta.”
“Burung
Layang-Layang,” sahut sang Pangeran, “lakukanlah sesuai permohonanku.”
Burung
Layang-Layang pun mencopot batu safir dari mata sang Pangeran, dan terbang
membawanya. Dengan secepat kilat dia melintasi gadis penjual korek api dan
berhasil menyelipkan batu safir tersebut di tangannya. “Batu ini sungguh
berkilau,” ungkap gadis itu dengan riang, dan dia pun pulang dengan hati
gembira.
Kemudian
burung Layang-Layang pulang ke tempat sang Pangeran. “Sekarang kau buta,”
ujarnya, “dan aku tidak tega meninggalkanmu, maka aku memutuskan untuk tinggal
bersamamu selamanya.”
“Tidak,
burung Layang-Layang,” jawab sang Pangeran yang kini balik merasa iba, “kau
harus pergi ke Mesir.”
“Aku akan
tinggal bersamamu selamanya,” sanggah burung Layang-Layang dengan kukuh, lalu
dia tertidur di kaki sang Pangeran.
Keesokan
harinya, dia singgah di atas pundak sang pangeran dan bercerita tentang apa saja
yang pernah dilihatnya di tempat-tempat asing. Dia bercerita tentang burung
ibis merah yang berdiri berjajar di pinggiran sungai Nil, dan menangkap ikan
emas dengan paruh mereka. Tentang patung Sphinx yang berusia sangat tua, dan
walaupun dia hanya tinggal di padang pasir, dia mengetahui segalanya. Para
pedagang yang berjalan perlahan di samping unta mereka sambil memegang tasbih.
Seorang raja dari segala pegunungan dan bulan yang berkulit segelap kayu ebon
dan memuja sebongkah batu kristal yang besar. Ular hijau yang menghuni pohon
palem, dan dua puluh pendeta yang selalu datang untuk memberinya makan. Para
kurcaci yang melabuhi danau di atas daun, dan selalu berperang dengan para
kupu-kupu.
“Burung
Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “kau bercerita tentang hal-hal yang luar
biasa, tapi hal yang lebih luar biasa adalah penderitaan yang dialami oleh para
umat manusia. Tidak ada misteri yang lebih besar dibanding penderitaan.
Terbanglah ke kota, temanku, dan beritahu padaku apa yang kau lihat di sana.”
Burung
Layang-Layang pun terbang mengelilingi kota, dan melihat para orang kaya hidup
bahagia di dalam rumah mereka yang megah, sementara para pengemis duduk di
dekat gerbang kota. Kemudian dia terbang ke jalan yang jarang dijamah oleh
cahaya matahari dan melihat wajah kelaparan anak-anak yang memandang jalan
gelap tersebut dengan tatapan kosong. Di bawah kolong jembatan, ada dua anak
kecil yang berbaring berhimpitan agar menjaga tubuh mereka tetap hangat. “Kami
lapar sekali!” teriak mereka. “Hei! Jangan tidur di sini,” amuk seorang penjaga
dan mereka pun berjalan di tengah hujan dengan langkah yang terseok-seok.
Kemudian dia
pulang dan menceritakan kepada sang Pangeran apa yang telah dilihatnya.
“Tubuhku
ditutupi oleh emas murni,” ujar sang Pangeran, “cabutlah semuanya, helai demi
helai, dan berikan kepada semua orang miskin. Semua orang berpikir bahwa emas
dapat membuat mereka bahagia.”
Helai demi
helai daun emas dicabut dari tubuh sang Pangeran, sampai penampilannya berubah
menjadi lusuh. Helai demi helai daun emas dibagikan ke rakyat miskin, sampai
wajah anak-anak memerah bahagia dan tertawa sambil bermain di jalan. “Sekarang
kita bisa makan roti!” teriak mereka.
Kemudian
turunlah salju yang diikuti oleh embun es. Jalanan terlihat seperti dibuat dari
perak, warnanya sangat terang dan berkilauan. Untaian tetesan air yang membeku
membentuk seperti belati kristal yang tergantung di pinggiran atap rumah, semua
orang pergi dengan mengenakan jaket bulu, dan anak-anak kecil mengenakan topi
merah dan bermain skats di atas es.
Burung
Layang-Layang yang malang semakin kedinginan, tapi dia tidak ingin pergi dari
sisi sang Pangeran, dia sangat menyayanginya. Dia memakan remah-remah roti yang
berserakan di luar pintu toko dan mencoba menghangatkan dirinya dengan
mengepak-ngepakkan sayapnya.
Namun dia
sadar bahwa pada akhirnya dia akan mati. Sekarang dia hanya memiliki sisa
tenaga untuk terbang ke pundak sang Pangeran untuk yang terakhir kalinya.
“Selamat tinggal, Pangeran,” bisiknya, “izinkanlah aku mencium tanganmu.”
“Aku senang
karena kau akan pergi ke Mesir, burung Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “kau
telah tinggal terlalu lama di sini, tapi aku ingin kau mencium pipiku karena
aku menyayangimu.”
“Aku tidak
akan pergi ke Mesir,” jawab burung Layang-Layang. “Aku akan pergi ke Rumah
Kematian dan beristirahat di sana untuk selamanya.”
Kemudian
burung Layang-Layang mencium pipinya dan jatuh tak berdaya. Kini dia telah
mati.
Tepat pada
saat itu juga, sebuah suara retakan terdengar dari dalam tubuh Pangeran, seolah
ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya. Sebenarnya, hati baja sang Pangeran
terbelah menjadi dua. Mungkin karena embun es yang sangat dingin.
Esok paginya
Walikota sedang berjalan di alun-alun sambil ditemani oleh para Dewan. Saat
mereka melewati patung sang Pangeran, mereka berdecak, “Ya ampun! Lusuh sekali
penampilan patung ini!”
“Ya, lusuh
sekali!” ulang para Dewan Kota yang selalu setuju dengan apa saja pendapat dari
Walikota, kemudian mereka menengadah ke atas.
“Batu rubi
hilang dari pedangnya, begitu juga dengan mata safirnya, dan tubuhnya yang dulu
dibalut emas kini hanya seperti pengemis.” Lanjut Walikota, “penampilannya
bahkan tidak lebih baik dari seorang pengemis!”
“Ya, tidak
lebih baik dari seorang pengemis,” ulang mereka lagi.
“Dan ada
bangkai burung di kakinya!” teriak Walikota. “Kita harus menerbitkan peraturan
bahwa burung dilarang mati di sini.” Dan Pegawai Kota mencatat sarannya.
Mereka pun
menurunkan patung sang pangeran. “Karena kini dia tidak lagi indah dan
berguna,” komentar Profesor Seni di sebuah universitas.
Kemudian
mereka melelehkan patung di mesin pembakaran, sementara Walikota mengadakan
rapat dengan para pemilik perusahaan untuk menentukan apa yang harus mereka
lakukan dengan besinya. “Kita bisa membangun patung baru,” sarannya, “dan
patung itu adalah diriku.”
“Ya,
diriku,” ucap masing-masing Dewan Kota dan mereka pun bertengkar. Bahkan sampai
saat ini mereka masih saling bertengkar.
“Aneh
sekali!” ujar seorang pekerja di tempat pembakaran. “Hati yang hancur ini tidak
dapat meleleh walau sudah kubakar sangat lama. Lebih baik kita buang saja.”
Lalu mereka membuangnya di onggokan tempat sampah di mana tubuh burung
Layang-Layang terbaring kaku.
“Bawakan aku
dua benda yang paling berharga dari kota tersebut,” perintah Tuhan kepada salah
satu malaikat-Nya, kemudian sang malaikat membawakan-Nya hati baja sang
pangeran dan tubuh burung Layang-Layang.
“Kau telah
memilih dengan benar,” sahut Tuhan, “burung kecil ini akan bernyanyi selamanya
di Taman Surga, sementara sang Pangeran akan menyembahku dan tinggal di kota
emas.”
Catatan Penerjemah:
[1] Ghetto:
Bagian kota yang dihuni oleh kaum Yahudi/golongan minoritas.
[2]
Ornithology: Ilmu yang mempelajari tentang burung.
Comments
Post a Comment