The Happy Prince (Pangeran Bahagia)

The Happy Prince
(Pangeran Bahagia)
Pengarang: Oscar Wilde
Penerjemah: Harum Wibowo

D
i tengah alun-alun kota, terdapat sebuah patung yang sangat indah. Patung tersebut didirikan di atas pasak yang menjulang tinggi, sehingga jika ada seseorang yang memanjat ke atasnya, maka dia akan dapat melihat ke seluruh penjuru kota. Patung itu pada dasarnya tidaklah terbuat dari emas, namun seluruh tubuhnya dihiasi oleh batu-batu permata. Dua batu safir yang berkiluan melekat di matanya, helai-helai dedaunan yang terbuat dari emas menutupi tubuhnya, dan sebuah batu rubi bersinar dari pangkal pedangnya. Orang-orang menyebutnya Pangeran Bahagia.
Semua orang di kota terpana akan keelokan serta kemegahannya. “Sungguh karya seni yang indah,” komentar salah seorang Dewan Kota yang ingin dipuji karena memiliki cita rasa seni, “hanya saja tidak begitu berguna,” tambahnya karena takut dianggap tidak praktikal, walaupun sebenarnya dia memang tidak.
“Kenapa kau tidak bisa bersikap seperti Pangeran Bahagia?” tuntut seorang ibu yang bayinya terus menangis meminta bulan. “Pangeran Bahagia tidak pernah menangis karena meminta apapun.”
“Syukurlah di dunia ini masih ada orang yang sangat bahagia,” ucap seorang pria yang selalu tampak kecewa sambil memandang patung itu dengan tatapan sayu.
“Dia seperti malaikat,” sahut anak-anak yang baru pulang dari sekolahnya. Mereka masih mengenakan baju seragam putih bersih.
“Memangnya kalian tahu malaikat itu seperti apa?” sela seorang profesor, “aku yakin kalian tidak pernah melihat malaikat.”
“Tentu saja kami pernah melihatnya dalam mimpi,” jawab mereka, dan profesor pun mengerutkan alisnya dan menatap mereka dengan tajam karena dia tidak menganggap mimpi anak-anak dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat.
Pada suatu malam, seekor burung Layang-Layang terbang di langit kota. Teman-temannya telah terbang ke Mesir enam minggu lalu, tapi tidak dengannya, karena dia sedang jatuh cinta pada seekor burung Pipit yang cantik. Dia pertama kali melihatnya saat sedang mengejar kupu-kupu di awal musim semi. Kecantikan burung pipit tersebut membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Izinkanlah aku untuk mencintaimu.” Ungkap si burung Layang-Layang yang suka langsung berterus terang dan burung Pipit itu pun mengangguk pelan. Dengan hati yang girang, dia terbang mengitarinya. Kemudian dia terbang di sekitar sungai dan sekali-kali sayapnya menyentuh permukaan air dan menimbulkan riak-riak air yang keperakan. Beginilah caranya meminang lawan jenis dan prosesi itu pun berlangsung sepanjang musim panas.
“Sungguh kisah cinta yang gila,” cicit burung Layang-Layang lain, “burung betina itu tidak punya harta sama sekali dan anggota keluarganya sangat banyak”. Sungai itu memang dihinggapi oleh banyak burung pipit. Kemudian saat musim gugur tiba, mereka semua terbang meninggalkannya.
Setelah kelompoknya pergi, burung Layang-Layang merasa kesepian dan mulai merasa bosan dengan kekasihnya. “Dia tidak banyak bicara,” batinnya, “dan mungkin saja dia wanita genit karena dia selalu tampak saling menggoda dengan angin.” Dan benar saja, setiap kali angin berhembus, burung Pipit selalu dengan anggunnya membungkuk dan menyembah. “Kuakui sifatnya memang keibuan,” lanjutnya, “tapi aku suka bepergian, dan seharusnya kekasihku harus menyukainya juga.”
“Ikutlah denganku.” Pinta burung Layang-Layang. Burung Pipit hanya menggelengkan kepala, dia sangat menyukai tempat tinggalnya yang sekarang sehingga tidak ingin pergi dari sana.
Burung Layang-Layang tampak kecewa padanya. “Sejak awal kau memang tidak pernah serius denganku!” teriaknya. “Aku akan pergi ke Piramid, sekarang. Selamat tinggal!” Dia pun beranjak pergi.
Sepanjang hari itu dia habiskan dengan terbang tanpa arah, dan malam harinya dia tiba di sebuah kota. “Di mana aku bisa beristirahat?” gumamnya. “Kuharap ada tempat untukku singgah di kota ini.”
Pandangannya lalu tertuju pada sebuah patung yang berdiri tegak di atas pasak yang tinggi.
“Aku akan beristirahat di sana,” batinnya, “tempatnya kelihatan nyaman dan banyak udara segar.” Dia pun singgah di antara kedua kaki Pangeran Bahagia.
“Tempat tidurku terbuat dari emas,” batinnya dengan puas, lalu dia bersiap-siap untuk tidur. Namun ketika dia hendak merebahkan kepala di balik sayapnya, setetes air jatuh ke tubuhnya. “Aneh sekali!” teriaknya karena terkejut. “Tidak ada awan di langit, bintang-bintang terlihat jelas dan terang benderang, tapi malah hujan. Iklim di Eropa utara memang sangat buruk. Kekasihku dulu suka hujan, tapi itu karena dia egois.”
Kemudian setetes air jatuh lagi ke atas tubuhnya.
“Apa gunanya patung ini kalau tidak bisa menghalau hujan?” omelnya, “Lebih baik aku cari cerobong asap yang ada atapnya saja.”
Saat dia hendak mengepakkan sayapnya untuk terbang, tetesan ketiga jatuh lagi. Dia pun mendongak dan melihat—Ah! Apa yang dilihatnya?
Sang Pangeran Bahagia sedang menangis, dan air matanya meluap membasahi pipi emasnya. Di bawah sinar rembulan, wajahnya terlihat sangat indah sehingga burung Layang-Layang merasa iba dengannya.
“Siapa kau?” tanyanya.
“Aku Pangeran Bahagia.”
“Kalau begitu, kenapa kau menangis?” Tanya burung Layang-Layang, “kau membuatku basah kuyup.”
“Ketika aku masih hidup dan memiliki hati manusia,” jawabnya, “aku tidak mengenal air mata, karena aku tinggal di Istana Sans Souci di mana kesedihan tidak diizinkan masuk. Pada siang hari, aku bermain dengan teman-temanku di taman, dan malam harinya aku mengadakan pesta tari di Aula Istana. Dinding yang tinggi berdiri kokoh di sepanjang taman, tapi aku tidak pernah bertanya apa yang ada di baliknya, segala hal di sekitarku sangat sempurna. Para penasehat kerajaan memanggilku Pangeran Bahagia, dan dulu aku memang selalu bahagia—jika kesenangan dapat dianggap sebagai kebahagiaan. Semua itu tidak berubah sampai aku meninggal. Dan sekarang aku sudah meninggal—mereka menegakkanku di tempat yang sangat tinggi sehingga aku dapat melihat semua penderitaan di kotaku. Walaupun hatiku terbuat dari baja, aku tetap tidak dapat menahan tangis kesedihanku.”
“Apa! Jadi dia tidak sepenuhnya terbuat dari emas?” batin burung Layang-Layang. Dia tidak mengatakan ini dengan keras agar tidak menyinggung perasaan sang Pangeran.
“Di kejauhan sana,” lanjut si patung dengan suara pelan, “di jalan yang sempit di kejauhan sana, ada sebuah gubuk kecil. Salah satu jendelanya terbuka, dan dari sana aku dapat melihat seorang wanita duduk di samping meja. Wajahnya kurus dan letih, tangannya kasar dan kemerahan karena tertusuk-tusuk jarum. Tampaknya dia seorang penjahit. Dia sedang menyulam motif bunga mawar di permukaan kain satin untuk pendamping mempelai wanita dari sang Ratu. Di sudut kamarnya, seorang anak kecil terbaring sakit. Badannya demam tinggi dan perutnya kelaparan. Dia ingin memakan buah apel. Ibunya tidak dapat memberikannya apapun selain air sungai, sehingga anaknya hanya bisa menangis. Burung Layang-Layang, bisakah kau membawakan batu rubi yang tertanam di gagang pedangku kepadanya? Kakiku tertempel di pasak ini sehingga aku tidak dapat bergerak.”
“Tapi aku akan pergi ke Mesir,” sahut burung Layang-Layang. “Saat ini teman-temanku pasti sedang beterbangan dengan riangnya di sungai Nil, dan bersenda gurau dengan bunga-bunga lotus di sana. Lalu mereka akan beristirahat di makam sang Raja yang berbaring di dalam peti yang terlukis dengan indah.”
“Burung Layang-Layang,” ucap sang Pangeran, “bersediakah kau tinggal bersamaku untuk semalam, dan menjadi perantaraku? Anak itu sangat kelaparan, dan ibunya sedang bersedih.”
“Aku tidak terlalu suka anak kecil,” jawab burung Layang-Layang. “pada musim panas lalu, ketika aku sedang beristirahat di sungai, ada dua bocah laki-laki yang nakal, mereka suka melempariku dengan batu. Tentu saja lemparan mereka tidak pernah mengenaiku. Kami, para burung layang-layang, terbang dengan sangat cepat, di samping itu, keluargaku terkenal dengan kegesitannya. Tapi tetap saja tindakan mereka sangat tidak pantas.”
Wajah sang Pangeran terlihat begitu sedih sehingga hati si burung Layang-Layang luluh melihatnya. “Udara di sini dingin sekali,” ujarnya, “tapi, baiklah, aku akan membantumu malam ini.”
“Terima kasih banyak, burung Layang-Layang,” ucap sang Pangeran.
Burung Layang-Layang pun mencopot batu rubi besar dari pedang sang Pangeran, lalu terbang sambil membawa batu tersebut di paruhnya.
Dia terbang melewati menara katedral yang dikeliling patung-patung malaikat. Dia melewati istana kerajaan dan mendengar musik dansa bergema dengan nuansa meriah. Seorang gadis jelita keluar ke balkon bersama kekasihnya. “Indah sekali bintang-bintang di langit,” ujar kekasihnya, “mereka merupakan simbol akan betapa agungnya kekuatan cinta!”
“Kuharap gaunku dapat selesai sebelum pesta kerajaan dimulai,” ujar si gadis jelita, “aku sudah menyampaikan pesan agar penjahitnya menambahkan motif bunga mawar, tapi dia lambat sekali. Kurasa dia seorang pemalas.”
Burung Layang-Layang terus terbang melewati sungai dan melihat lentera tergantung di tiang kapal. Dia melintasi sebuah Ghetto[1] dan melihat seorang pria yahudi sedang menawar barang. Akhirnya dia sampai di rumah gubuk yang dimaksud sang Pangeran. Seorang anak bergelut di atas ranjangnya karena demam yang sangat tinggi, sedangkan ibunya sudah tertidur; kelihatannya dia sangat letih. Burung Layang-Layang masuk melalui jendela yang terbuka dan menaruh batu rubi di atas meja dekat peralatan menjahit. Kemudian dia terbang dengan perlahan di sekitar ranjang anak tersebut untuk mengipasi keningnya. “Sejuk sekali,” ucapnya, “pasti aku sudah sembuh,” kemudian dia kembali terlelap dalam mimpinya.
Dia lalu pulang dan menceritakan pada sang Pangeran apa yang telah dilakukannya. “Aneh sekali,” komentarnya, “walaupun udara di sekitarku sangat dingin, aku merasa hangat sekarang.”
“Itu karena kau telah melakukan perbuatan baik,” jawab sang Pangeran. Burung Layang-Layang berpikir sejenak lalu tertidur. Berpikir selalu membuatnya mengantuk.
Ketika fajar mulai menyingsing, dia terbang ke sungai dan mandi di sana. “Sungguh fenomena yang aneh,” ujar seorang Profesor Ornitologi[2] saat dia sedang melintas di atas jembatan. “Ada burung Layang-Layang di musim dingin!” Dia pun mengirim laporan yang sangat panjang ke kantor berita lokal. Saat berita itu beredar, semua orang memperbincangkannya, namun isinya penuh dengan kata-kata yang tidak dapat mereka pahami.
“Malam ini aku akan pergi ke Mesir,” ujar burung Layang-Layang, dan dia sangat bersemangat untuk terbang. Sebelum memutuskan untuk pergi, dia mengunjungi semua tempat menarik di kota dan duduk sangat lama di atas menara gereja. Di manapun dia bertengger, para burung gereja selalu berkicau satu sama lain, “Orang asing itu aneh sekali!” Namun dia tidak memperdulikan mereka dan tetap menikmati waktu santainya.
Ketika rembulan mulai menghiasi langit, dia kembali pulang. “Apa kau mau ikut denganku ke Mesir?” ajaknya, “kita bisa pergi bersama kalau kau mau.”
“Burung Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “bisakah kau tinggal semalam lagi di sini?”
“Tapi teman-temanku sedang menunggu di Mesir,” jawab Burung Layang-Layang. “Besok teman-temanku akan terbang mengunjungi air terjun yang sangat tinggi di sana. Kemudian mereka akan terbang menelusuri sungai yang di sekitarnya dikelilingi oleh rerumputan yang beraneka ragam, lalu singgah di singgasana Dewa Memnon yang terbuat dari bebatuan granit.”
“Burung Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “di kejauhan sana, aku melihat seorang pemuda di loteng rumahnya. Dia sedang duduk di belakang meja yang berserakan, dan di sampingnya ada sebuah vas bunga. Namun bunga-bunga di dalamnya sudah layu. Dia sedang menyelesaikan drama untuk Direktur Teater, tapi dia sangat kedinginan sehingga tidak sanggup untuk menulis lagi. Dia tidak memiliki uang untuk membeli kayu bakar ataupun makanan, sehingga perapiannya tidak menyala, dan kelaparan membuatnya tidak sadarkan diri.”
“Baiklah, aku akan menemanimu satu malam lagi,” sahut burung Layang-Layang yang memiliki hati yang tulus. “Apa kau ingin memberikannya batu rubi juga?”
“Sayang sekali aku kehabisan batu rubi,” kata sang Pangeran, “hanya kedua mataku yang tersisa sekarang. Kedua mataku terbuat dari batu safir langka yang dibawa dari India seribu tahun silam. Ambillah salah satunya dan bawakan kepadanya. Dia bisa menjualnya ke pedangang perhiasan sehingga dia dapat membeli kayu bakar dan menyelesaikan dramanya.”
“Wahai Pangeran,” ujar burung Layang-Layang, “aku tidak tega melakukannya.” Dia pun mulai menangis tersedu.
“Burung Layang-Layang,” jawab sang Pangeran, “lakukanlah apa yang kupinta padamu.”
Dengan berat hati burung Layang-Layang mencabut batu safir dari mata sang pangeran, dan terbang ke kamar si pemuda. Sangat mudah baginya untuk masuk ke dalam sana karena ada lubang di atapnya. Ketika dia sudah masuk, dia melihat tangan pemuda tersebut melingkar di kepalanya sehingga dia tidak dapat mendengar kepakan sayap burung Layang-Layang, dan saat dia membuka matanya, dia melihat ada batu safir yang sangat berkilau di dekat bunga-bunga yang layu.
“Sepertinya orang-orang mulai menghargaiku,” batinnya dengan girang, “ini pasti dari seorang pengagum karyaku. Sekarang aku bisa menyelesaikan drama yang sedang kutulis.” Pemuda itu terlihat sangat bahagia.
Keesokan harinya burung Layang-Layang terbang ke pelabuhan. Dia bertengger di tiang kapal yang besar dan memperhatikan para pelaut mengangkut peti-peti besar ke dalam kapal. “Ayo berlabuh!” teriak mereka setiap kali berhasil mengangkut sebuah peti ke dalam kapal. “Aku akan ke Mesir!” teriak burung Layang-Layang, tapi tidak ada seorangpun yang menanggapinya dan ketika bulan kembali bercahaya, dia pulang ke tempat sang Pangeran.
“Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal,” kicaunya.
“Burung Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “bisakah kau tinggal semalam lagi bersamaku?”
“Sekarang musim dingin,” jawab burung Layang-Layang, “dan salju akan segera turun di sini. Sedangkan di Mesir, matahari selalu bersinar hangat. Teman-temanku sekarang pasti sedang membangun sarang di Kuil Baalbec sambil ditemani oleh para burung dara yang saling berkicau. Wahai Pangeran, kurasa aku harus meninggalkanmu, tapi aku tidak akan pernah melupakanmu, dan di musim semi nanti aku akan membawakanmu dua batu permata yang sangat indah untuk mengganti perhiasan yang telah kau berikan. Batu rubi yang nanti kubawa akan lebih merah dari mawar, dan batu safirnya akan sebiru lautan.”
“Di alun-alun kota,” mulai sang Pangeran, “ada seorang gadis penjual korek api. Seluruh korek api yang dibawanya jatuh ke parit dan basah. Ayahnya akan memukuliya kalau dia tidak pulang membawa uang, dan dia pun menangis. Dia tidak mengenakan sepatu maupun kaus kaki, dan kepala mungilnya tidak tertutupi apapun. Udara dingin dengan leluasa menyelimuti dirinya. Cabutlah sisa mataku dan bawakan batu safir itu padanya.
“Baiklah, aku akan tinggal semalam lagi,” jawab burung Layang-Layang, “tapi aku tidak ingin mencabut matamu. Nanti kau bisa buta.”
“Burung Layang-Layang,” sahut sang Pangeran, “lakukanlah sesuai permohonanku.”
Burung Layang-Layang pun mencopot batu safir dari mata sang Pangeran, dan terbang membawanya. Dengan secepat kilat dia melintasi gadis penjual korek api dan berhasil menyelipkan batu safir tersebut di tangannya. “Batu ini sungguh berkilau,” ungkap gadis itu dengan riang, dan dia pun pulang dengan hati gembira.
Kemudian burung Layang-Layang pulang ke tempat sang Pangeran. “Sekarang kau buta,” ujarnya, “dan aku tidak tega meninggalkanmu, maka aku memutuskan untuk tinggal bersamamu selamanya.”
“Tidak, burung Layang-Layang,” jawab sang Pangeran yang kini balik merasa iba, “kau harus pergi ke Mesir.”
“Aku akan tinggal bersamamu selamanya,” sanggah burung Layang-Layang dengan kukuh, lalu dia tertidur di kaki sang Pangeran.
Keesokan harinya, dia singgah di atas pundak sang pangeran dan bercerita tentang apa saja yang pernah dilihatnya di tempat-tempat asing. Dia bercerita tentang burung ibis merah yang berdiri berjajar di pinggiran sungai Nil, dan menangkap ikan emas dengan paruh mereka. Tentang patung Sphinx yang berusia sangat tua, dan walaupun dia hanya tinggal di padang pasir, dia mengetahui segalanya. Para pedagang yang berjalan perlahan di samping unta mereka sambil memegang tasbih. Seorang raja dari segala pegunungan dan bulan yang berkulit segelap kayu ebon dan memuja sebongkah batu kristal yang besar. Ular hijau yang menghuni pohon palem, dan dua puluh pendeta yang selalu datang untuk memberinya makan. Para kurcaci yang melabuhi danau di atas daun, dan selalu berperang dengan para kupu-kupu.
“Burung Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “kau bercerita tentang hal-hal yang luar biasa, tapi hal yang lebih luar biasa adalah penderitaan yang dialami oleh para umat manusia. Tidak ada misteri yang lebih besar dibanding penderitaan. Terbanglah ke kota, temanku, dan beritahu padaku apa yang kau lihat di sana.”
Burung Layang-Layang pun terbang mengelilingi kota, dan melihat para orang kaya hidup bahagia di dalam rumah mereka yang megah, sementara para pengemis duduk di dekat gerbang kota. Kemudian dia terbang ke jalan yang jarang dijamah oleh cahaya matahari dan melihat wajah kelaparan anak-anak yang memandang jalan gelap tersebut dengan tatapan kosong. Di bawah kolong jembatan, ada dua anak kecil yang berbaring berhimpitan agar menjaga tubuh mereka tetap hangat. “Kami lapar sekali!” teriak mereka. “Hei! Jangan tidur di sini,” amuk seorang penjaga dan mereka pun berjalan di tengah hujan dengan langkah yang terseok-seok.
Kemudian dia pulang dan menceritakan kepada sang Pangeran apa yang telah dilihatnya.
“Tubuhku ditutupi oleh emas murni,” ujar sang Pangeran, “cabutlah semuanya, helai demi helai, dan berikan kepada semua orang miskin. Semua orang berpikir bahwa emas dapat membuat mereka bahagia.”
Helai demi helai daun emas dicabut dari tubuh sang Pangeran, sampai penampilannya berubah menjadi lusuh. Helai demi helai daun emas dibagikan ke rakyat miskin, sampai wajah anak-anak memerah bahagia dan tertawa sambil bermain di jalan. “Sekarang kita bisa makan roti!” teriak mereka.
Kemudian turunlah salju yang diikuti oleh embun es. Jalanan terlihat seperti dibuat dari perak, warnanya sangat terang dan berkilauan. Untaian tetesan air yang membeku membentuk seperti belati kristal yang tergantung di pinggiran atap rumah, semua orang pergi dengan mengenakan jaket bulu, dan anak-anak kecil mengenakan topi merah dan bermain skats di atas es.
Burung Layang-Layang yang malang semakin kedinginan, tapi dia tidak ingin pergi dari sisi sang Pangeran, dia sangat menyayanginya. Dia memakan remah-remah roti yang berserakan di luar pintu toko dan mencoba menghangatkan dirinya dengan mengepak-ngepakkan sayapnya.
Namun dia sadar bahwa pada akhirnya dia akan mati. Sekarang dia hanya memiliki sisa tenaga untuk terbang ke pundak sang Pangeran untuk yang terakhir kalinya. “Selamat tinggal, Pangeran,” bisiknya, “izinkanlah aku mencium tanganmu.”
“Aku senang karena kau akan pergi ke Mesir, burung Layang-Layang,” ujar sang Pangeran, “kau telah tinggal terlalu lama di sini, tapi aku ingin kau mencium pipiku karena aku menyayangimu.”
“Aku tidak akan pergi ke Mesir,” jawab burung Layang-Layang. “Aku akan pergi ke Rumah Kematian dan beristirahat di sana untuk selamanya.”
Kemudian burung Layang-Layang mencium pipinya dan jatuh tak berdaya. Kini dia telah mati.
Tepat pada saat itu juga, sebuah suara retakan terdengar dari dalam tubuh Pangeran, seolah ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya. Sebenarnya, hati baja sang Pangeran terbelah menjadi dua. Mungkin karena embun es yang sangat dingin.
Esok paginya Walikota sedang berjalan di alun-alun sambil ditemani oleh para Dewan. Saat mereka melewati patung sang Pangeran, mereka berdecak, “Ya ampun! Lusuh sekali penampilan patung ini!”
“Ya, lusuh sekali!” ulang para Dewan Kota yang selalu setuju dengan apa saja pendapat dari Walikota, kemudian mereka menengadah ke atas.
“Batu rubi hilang dari pedangnya, begitu juga dengan mata safirnya, dan tubuhnya yang dulu dibalut emas kini hanya seperti pengemis.” Lanjut Walikota, “penampilannya bahkan tidak lebih baik dari seorang pengemis!”
“Ya, tidak lebih baik dari seorang pengemis,” ulang mereka lagi.
“Dan ada bangkai burung di kakinya!” teriak Walikota. “Kita harus menerbitkan peraturan bahwa burung dilarang mati di sini.” Dan Pegawai Kota mencatat sarannya.
Mereka pun menurunkan patung sang pangeran. “Karena kini dia tidak lagi indah dan berguna,” komentar Profesor Seni di sebuah universitas.
Kemudian mereka melelehkan patung di mesin pembakaran, sementara Walikota mengadakan rapat dengan para pemilik perusahaan untuk menentukan apa yang harus mereka lakukan dengan besinya. “Kita bisa membangun patung baru,” sarannya, “dan patung itu adalah diriku.”
“Ya, diriku,” ucap masing-masing Dewan Kota dan mereka pun bertengkar. Bahkan sampai saat ini mereka masih saling bertengkar.
“Aneh sekali!” ujar seorang pekerja di tempat pembakaran. “Hati yang hancur ini tidak dapat meleleh walau sudah kubakar sangat lama. Lebih baik kita buang saja.” Lalu mereka membuangnya di onggokan tempat sampah di mana tubuh burung Layang-Layang terbaring kaku.
“Bawakan aku dua benda yang paling berharga dari kota tersebut,” perintah Tuhan kepada salah satu malaikat-Nya, kemudian sang malaikat membawakan-Nya hati baja sang pangeran dan tubuh burung Layang-Layang.
“Kau telah memilih dengan benar,” sahut Tuhan, “burung kecil ini akan bernyanyi selamanya di Taman Surga, sementara sang Pangeran akan menyembahku dan tinggal di kota emas.”
Catatan Penerjemah:
[1] Ghetto: Bagian kota yang dihuni oleh kaum Yahudi/golongan minoritas.
[2] Ornithology: Ilmu yang mempelajari tentang burung.


Comments

Popular posts from this blog

Satu Cerita Aneh

Pemain Drama Korea Beautiful Love Wonderful Life dan Sinopsisnya

Insan dan Waktu: Cerpen Hastarika