Dahyang
DAHYANG
Dimuat di Majalah Esquire Indonesia, Edisi Bulan Desember 2014
Dimuat di Majalah Esquire Indonesia, Edisi Bulan Desember 2014
Pengarang
: Utami Panca Dewi
1. Perempuan dengan
Dua Wajah
Lelaki
itu mulai memikirkan kembali perempuan di rumah batu. Ia akan pergi ke sana
tanpa seijin Ibu. Ia tahu bahwa ia adalah satu-satunya obat bagi Ibunya. Ibu
bisa membangun mimpinya sendiri lewat dirinya. Namun yang ada di setiap lokus
otaknya, hanyalah belantara dengan lekukan magis menggiurkan milik perempuan
itu.
Ibunya
telah lelah mengisahkan cerita itu. Dan ia mulai mencari jalannya sendiri.
Jalan yang akan membawanya ke sebuah lorong, yang berujung pada sebuah rumah
batu. Milik perempuan dengan dua wajah yang selalu mengganggu malam-malamnya
dengan mimpi.
Sendirian,
lelaki muda itu mendatangi tembok makam tua. Seperti pernah dilakukannya
beberapa tahun lalu. Mencakar-cakar lumut dengan kuku-kukunya. Saat
cacing-cacing berkepala ular itu muncul dan bergerak ke satu arah, ia mulai
mengikuti jejaknya. Melesapkan tubuhnya ke dalam lubang di dalam tanah, lalu
muncul kembali di sebelah utara makam. Di rumah batu itu seseorang telah
menunggunya. Seorang perempuan dengan kulit pualam, mata yang bercahaya, dan
sepasang kaki belalang. Belantara dalam tubuhnya siap untuk dijamah.
Setelah
sampai, ular-ular itu hilang di balik belantara. Menyelusup di celah-celah
lekuk lembah dan jurang. Sekarang, ia mulai berani menentang mata perempuan
itu. Mata yang menyimpan pijar bintang jatuh.
Perempuan
itu tersenyum sesaat sebelum ia bertanya kepadanya.
“Apakah
engkau sudah cukup berani?”
“Berani
untuk apa?
“Berani
untuk mengambil resiko.”
“Berapa
ratus lelaki yang telah engkau takhlukkan?”
Perempuan
itu hanya tertawa. Membuat tubuh lelakinya gemetar. Namun matanya tetap nyalang
menikmati tubuh pualam yang sebentar kemudian telah berganti rupa menjadi
belantara. Bukitnya menunggu untuk didaki, lembahnya melambai untuk di rebahi
dan yang paling mencekamnya dalam seribu ketakutan adalah jurangnya. Menganga
dengan ratusan ular yang mendesis-desis.
Lalu
kedua tubuh itu mulai saling mendekat. Angin utara berputar-putar menyatukan
mereka. Pusaran angin terus menderu saat tubuh lelakinya mulai menjelajahi
belantara itu. Mendaki setiap bukit dan menjelajah lembah yang melenakan.
Tetapi tiba-tiba dari jurangnya bermunculan ular-ular kecil. Ular-ular yang
menghisap tenaga sang lelaki hingga habis. Tubuhnya kini lunglai bagai kapas,
tapi ia tidak mati. Perempuan yang sesaat berwajah belantara, kini kembali
berwajah pualam.
2. Perempuan-perempuan
yang Terpasung
Dulu
Egordion pernah berkhayal untuk bisa menikah dengan perempuan itu. Tidak ada
perempuan semenarik Dahyang. Tidak juga perempuan-perempuan di kampungnya. Yang
sangat tunduk kepada setiap lelaki yang telah meminangnya, untuk
memenjarakannya di dalam rumah bertembok beton. Seolah mereka sudah terbeli,
tidak hanya raganya, bahkan jiwanya lengkap dengan mimpi-mimpi yang mengisi
setiap lokus otaknya.
Ibunya
adalah salah satu perempuan itu. Perempuan yang jiwanya telah terbeli, dan
mimpi-mimpinya sudah direnggut paksa oleh Ayahnya. Ibu terpasung di rumahya
sendiri. Memintal benang kesunyiannya sendiri. Bahkan ketika benang itu kusut,
Ibu tidak bisa meminta tolong kepada sesiapa, kecuali kepada dirinya sendiri.
Suatu
saat, Ibu berusaha membangun kembali satu mimpi. Ia kumpulkan potongan-potongan
benang kesunyian, serpihan-serpihan rindu yang dicampur dengan
lenguhan-lenguhan keterpaksaan saat melayani Ayah. Tetapi mata Ayah yang jeli
segera tahu bahwa Ibu tengah membangun mimpi. Bagi Ayah, di rumahnya tidak
boleh ada bangunan bernama mimpi. Karena mimpi akan menarik Ibu keluar dari
rumah, menjauhkan diri dari pasung yang telah dibuat oleh Ayah.
Egordion
pernah mengenal satu perempuan bernama Bibi Awui. Seperti juga Ibu, Bibi Awui
berusaha membangun mimpi. Saat itu, suaminya tengah pergi jauh, sehingga Bibi
leluasa membangun mimpi. Setelah jadi, mimpi itu seperti kereta yang segera
meluncur keluar sesaat setelah pintu rumahnya terbuka. Dan Bibi Awui tidak
pernah kembali lagi.
Sejak
saat itu para lelaki mulai memperketat pengawasan mereka.
Potongan-potongan kesunyian mulai dikusutkan dengan
lenguhan-lenguhan yang semakin bertambah keras. Karena para lelaki mulai
menunjukkan kedigdayaan cambuk mereka. Lalu perempuan-perempuan akan mencoba
mengurai kekusutan itu, sehingga tidak pernah sempat berpikir untuk membangun
mimpi. Serpihan-serpihan rindu telah dibakar dengan amarah, hingga hanya
menyisakan abu kebencian.
3. Perempuan Pemasung
“Menikahlah
denganku,” bisik Dahyang dengan mata setengah terpejam.
Sulit
untuk tidak terpaku pada belantara itu. Belantara yang menawarkan lekuk lembah,
jurang dan gunung. Hingga Egordion lalu bertanya untuk meyakinkan dirinya
sendiri, yang terpana dalam keterpesonaan dan ketakutan.
“Siapa,
dengan siapa kamu akan menikah?”
“Setiap
lelaki yang sudah datang ke rumah batu ini, berarti dialah mempelaiku.”
Egordion
terpaku antara pesona dengan rasa takut yang luar biasa. Ia turunkan sedikit
pandangan matanya karena tak biasa melihat pijar bintang itu. Pijar bintang
jatuh yang keluar dari sepasang mata di depannya. Egordion hampir bertelut dan
menekuk lututnya kalau saja perempuan itu tidak memekik dan mengusirnya.
“Pergilah
bocah! Datanglah beberapa tahun lagi, aku akan menunggumu di sini!”
Sejak
saat itu Egordion terus membayangkan rumah batu itu. Dan penghuni satu-satunya
yang tidak pernah terkena kutukan saat tinggal di sebelah utara makam.
Kisah-kisah
yang dituliskan Ibunya selalu dibacanya setiap malam. Namun semakin dibacanya,
semakin pula ia menjadi terikat dengan kenang-kenangan akan perempuan itu.
Kenang-kenangan tentang rumah batu dan seribu kunang-kunang yang
mengelilinginya. Kulit pualam, mata yang bercahaya, dan sepasang kaki belalang.
Tiga hal itu telah menutupi sekian banyak ketakutan yang dituangkan oleh Ibu
dengan paksa ke dalam mulutnya
Kisah
tentang lelaki yang selalu mati setelah menikahi perempuan itu. Lelaki yang
datang dengan punggung membungkuk karena diberati oleh nafsunya sendiri. Lalu
melampiaskan segalanya di tubuh belantara itu. Kemudian muncul ular-ular.
mengerubuti sang lelaki. Menghisap habis seluruh tenaganya.
Tubuhnya
bagai magnet dengan dua kutub. Satu kutub menjanjikan kenikmatan yang siap
disesap oleh lelaki yang jiwanya terperangkap oleh nafsu. Satu kutub lagi
berisi ketakutan yang mencekam. Bagai lorong paling gelap di suatu belantara
yang tak pernah terjamah oleh sinar matahari maupun rembulan
Untuk
sesaat Egordion takut. Hanya sesaat saja. Tapi ketakutan itu segera berubah
menjadi minyak yang justru memperbesar nyala keinginannya untuk menemui
perempuan itu lagi suatu saat. Raga, jiwa, bahkan mimpi-mimpi di dalam lokus
otaknya telah dipasung oleh perempuan itu.
4. Laki-laki yang
terpasung
Dengan
malu-malu ia melamarnya. Setelah sekian puluh lelaki. Atau bahkan sekian ratus?
Tidak ada yang pernah tahu bilangan tahun yang telah dilalui oleh perempuan
itu. Sebagaimana tidak ada yang tahu bilangan lelaki yang telah takhluk.
Menekuk lutut di bawah sepasang kakinya yang seelok kaki belalang. Dan kini
Egordion ingin menakhlukkam perempuan itu. Menakhlukkan seluruh tubuhnya yang
bagai hamparan belantara, dengan lembah dan gunung yang memabukkan puluhan
lelaki. Dan jurang yang siap menelan tubuh-tubuh yang mencoba menjamahnya
dengan rakus.
Ibu
sudah berulang kali medesiskan dongeng itu di telinganya. Sampai kering mulut
karena ludahnya dihisap oleh angin pegunungan yang menyelusup di sela-sela
pohon mahoni. Lihatlah! Betapa angin pun berpihak kepada perempuan itu.
Perempuan yang hidup sendirian di sebelah utara perkampungan, berbataskan
sebuah pemakaman yang dikeramatkan.
Bahkan Ibu
lalu menulis. Ya, menulis banyak-banyak tentang kisah yang tidak berani lagi
dilisankannya. Meski angin mencoba menerbangkan kertas yang sedang dipegangnya,
Ibu tetap menulis. Ia tak ingin anak lelakinya tersesat lebih jauh.
Tidak
ada yang tahu berapa umur pemakaman itu. Tembok luarnya yang berlumut dan
berhiaskan tanaman paku-pakuan selalu menarik perhatian anak-anak kecil untuk
mendekatinya. Bangunan beton dan cat-cat tembok yang bersih menyuguhkan
peradaban yang membosankan. Rupanya tangan-tangan kecil itu tertarik untuk
mengelupas lumut-lumut. Untuk mencari cacing-cacing kecil yang menggeliat di
sebaliknya. Sampai orang tua mereka melarang dan menuliskan cerita tentang asal
muasal pemakaman itu.
Kata
Ibu, salah satu makam yang paling besar di dalam pemakaman itu adalah milik
seorang Rahib. Orang suci yang tak mengenal hawa nafsu. Nyaris mendekati sifat
malaikat. Ia adalah milik penduduk kampung. Setiap kata yang keluar dari
mulutnya adalah dogma yang tak terbantahkan.
Setahun
sekali, Sang Rahib akan memilih seorang perawan yang masih suci. Perawan suci
itu akan membantunya memberikan layanan kepada orang-orang yang berdatangan
kepadanya. Memercikkan air suci, membawa bunga-bunga, membantu menyiapkan
altar. Perawan yang terpilih pastilah gadis yang tercantik. Dan itu merupakan
ujian tersendiri bagi Sang Rahib.
Suatu
hari Rahib itu tergoda oleh seorang gadis cantik, yang datang kepadanya dengan
suka rela. Tubuhnya molek bagai patung pualam. Matanya yang redup kemudian
menjadi bercahaya setelah Sang Rahib menangkap bintang jatuh untuk disematkan
di bola matanya. Serpihan-serpihan bintang jatuh itu menjelma kunang-kunang
yang mengitari rumah Sang Rahib. Berkuntum-kuntum kembang telah diambil
sarinya, untuk dibalurkan di tubuh pualam itu, sehingga senantiasa wangi.
Sejak
ada perempuan itu, Sang Rahib tidak pernah keluar rumah untuk melayani penduduk
yang membutuhkan pertolongannya. Ia hanya melayani perempuan itu dari hari ke
hari. Sampai suatu hari, Rahib itu tiba-tiba sekarat, dan perempuan itu
menghilang. Sebelum dikuburkan, Rahib itu menitip pesan. Jangan sekali-kali
membangun rumah bahkan sampai menetap di sebelah utara makam. Bahkan angin
selatan yang panas pun tidak berani menyeberangi pemakaman itu. Hanya angin
utara dari pegunungan yang dingin, berani berputar-putar di sana.
Konon
ada beberapa dari sekian banyak penduduk yang mencoba membangun rumah dan menetap
di utara makam. Yah, beberapa orang yang berani. Namun semuanya berakhir dengan
kematian. Demikian kepercayaan itu tumbuh bertahun-tahun, mengendap pada bagian
dasar batas kesadaran mereka.
Suatu
hari Egordion kecil berjalan mengendap mendekati tanah makam. Ia terpesona oleh
lumut-lumut yang menempel di tembok sebelah luar makam. Lumut-lumut itu tetap
hijau meski kemarau telah menyerang perkampungan mereka. Bahkan ketika
daun-daun mulai meranggas dan berguguran. Egordion mulai memasukkan kuku-kuku
jarinya ke balik lumut-lumut tebal yang bagai potongan permadani itu. Mencakar
dan mulai mengambil lumut-lumut tebal itu hingga beberapa centimeter. Ia
menemukan cacing-cacing berlindung di sebalik lumut. Cacing-cacing yang
mulutnya mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya. Mirip kepala anak-anak ular.
Ada
alur kecil yang mirip lorong yang dilalui cacing-cacing berkepala ular itu.
Sebuah lorong di tanah yang semakin melebar, sehingga Egordion bisa menyelusup
masuk dan melewatinya. Saat ujung lorong menjadi lebih terang, Egordion
menemukan dirinya telah berada di sana. Di rumah batu dengan seorang perempuan
yang memiliki kulit bagai pualam. Perempuan itu menyebut dirinya Dahyang.
5. Membuka Pasungan
Egordion
bukan satu-satunya lelaki yang terperangkap dalam rumah batu itu. Telah puluhan
bahkan ratusan jiwa. Yang terperangkap dalam belenggu nafsunya
sendiri. Bagai Ibunya yang telah terpasung di dalam rumah sendiri.
Egordion terpasung dan ia tak pernah kembali ke rumah Ibunya. Tetapi ia tidak
mati.
Lalu
perempuan di kampung itu mulai kasak-kusuk. Mereka membicarakan tentang
keganjilan itu. Egordion yang tidak mati setelah menikahi perempuan di rumah
batu. Tinggallah Sang Ibu. Ia mulai merindu sesuatu yang sejak lama seolah
mustahil. Melenyapkan pasung yang selama ini mengungkung jiwa, raga dan
mimpi-mimpinya. Ibu ingin menjadi Dahyang. Tidak terpasung, bahkan memasung.
Maka setiap malam Ibu menatap ke langit, berharap ada bintang jatuh. Kalau ada
satu saja, pasti bulatan terangnya yang memijar berjuta cahaya bisa diambil,
untuk dipasang di bola matanya.
Berbulan-bulan
Ibu terus menunggu. Bintang di langit tak juga jatuh. Bintang-bintang tetap
cemerlang di angkasa. Ibu mulai menyiapkan berbagai alat untuk menjaring
bintang yang akan jatuh. Lalu Ibu mulai berpikir untuk mencari galah yang
terpanjang. Dengan menaiki atap rumah yang paling tinggi, seorang perempuan
mulai menengadahkan wajahnya ke langit. Di kedua tangannya tergenggam galah
yang paling panjang. Sesekali kedua tangannya terangkat ke atas. Sampai ketika
kedua kakinya terhumbalang ke atas dengan kemampuan lompatan yang paling
tinggi. Namun bintang tak juga tergapai.
Siang
hari, Ibu pun mulai meramu berkuntum-kuntum kembang. Untuk dibalurkan di
tubuhnya. Sampai kuntum bunga di kampung itu hampir habis tak bersisa. Wangi
mulai merebak di pintu masuk rumahnya yang terbuka.
Pada
malam di mana purnama hanya serupa sabit, peristiwa yang sudah lama
ditunggu-tunggu Ibu pun datanglah. Ada bintang jatuh. Bumi menjadi terang
benderang seketika. Namun karena kuatnya benturan dengan permukaan bumi,
bintang yang jatuh itu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Serpihan-serpihan
yang bertebaran di tanah, cahayanya berpendaran menyilaukan mata sesiapa yang
kebetulan melihatnya. Dengan rakus Ibu meraup serpihan-serpihan itu.
Memasangkannya di kedua bola matanya
Bola
mata Ibu sudah berganti dengan serpihan bintang. Saat itu, mulailah
terlihat pendar cahaya dari sela-sela atap rumah. Ketika bau wangi mulai
menguar dari tubuh belantaranya, lelaki itu mulai menekuk lutut. Bertelut di
tengah sepasang kaki belalang yang mengangkang. Memohon untuk bisa menjelajahi
belantara itu, mendaki gunungnya dan merebahi lembahnya. Lelaki itu menghilangkan
kenangan atas satu hal. Yakni jurang yang di dalamnya tersembunyi ratusan ular
yang mendesis-desis. Maka pasung itu pun terbukalah. Dan Egordion kembali
menjelajahi belantara itu.
Comments
Post a Comment