Hobnail
Hobnail
[Langkah Sepatu But]
Cerpen Terjemahan
Pengarang: Crystal Arbogast
Penerjemah: Harum Wibowo
F
|
annie duduk bersila di depan beranda rumah paman John,
dengan satu lengan mengapit boneka kesayangannya. Cahaya senja bersinar melalui
celah-celah dedaunan pohon ek, dan menerangi beranda rumah pamannya. Sinarnya
yang berwarna keemasan membuat Fannie terpesona dan duduk terpaku dengan wajah
menengadah ke atas seolah terhipnotis oleh keindahannya. Bisikan percakapan
terdengar mengalir dari dalam rumah.
“Ellen, aku senang kau dapat datang ke gereja bersama
kami hari ini. Bagaimana kalau sekalian menginap saja di sini? Sekarang sudah
sangat sore dan sebentar lagi hari akan gelap.”
“Tenang
saja, Sally. Aku akan baik-baik saja,” jawab ibu Fannie. “Lagipula, kau tahu
sendirilah bagaimana sifat Lige. Aku memang telah memasakkan makanan untuknya
dan anak-anak, tapi dia pasti tetap ingin aku dan Fannie hadir di meja makan.
Ditambah lagi, dia pasti ingin tahu apakah istri Sam Bosworth berhasil memaksa
suaminya datang ke gereja.”
Gelak tawa
pun menggema dan memecahkan lamunan Fannie. Dia akhirnya berdiri, meluruskan
roknya, lalu masuk ke dalam rumah.
“Ambil
syalmu, Fannie. Setelah matahari terbenam, udara akan mulai dingin.”
Saat gadis
kecil itu hendak meraih syalnya yang diletakkan di atas kursi dekat perapian,
pamannya datang dari belakang dengan membawa lentera.
“Bawalah
ini, Ellen. Sumbunya baru, dan minyaknya sudah kuisi penuh.”
“Terima
kasih, Johnny,” ujar Ellen. “Nanti akan kuminta Lige untuk mengembalikannya
ketika dia pergi ke kota minggu depan.”
Ellen
mencium dan mengucapkan selamat tinggal kepada adiknya, Johnny, lalu memeluk
Sally dengan lembut. Sambil mengusap perut Sally yang membuncit, dia berkata,
“Akhir bulan nanti aku akan kembali lagi. Jangan banyak mengangkat beban yang
berat. Kalau kau terus merasa mual, seduh teh mint yang kutinggalkan di dapur.
Aku belum pernah melihat ibu hamil yang terus-terusan merasa mual sepertimu.
Pasti bayimu laki-laki.”
Mendengar hal
ini, kening Fannie jadi mengkerut. Dia terlahir sebagai anak bungsu, dan
satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya. Karena hidup dengan empat
saudara laki-laki, dia selalu berdoa kepada Tuhan agar Dia memberikan bibinya
anak perempuan. Satu-satunya teman bermain Fannie hanyalah boneka yang
dibuatkan ibunya. Dengan satu lengan mengapit boneka kesayangannya, dan memakai
syal dengan tangan yang sama, Fannie menunggu ibunya dengan sabar. Bibi Sally
mengecup pipinya dengan lembut lalu memeluknya dengan pelan. “Kalau bibi
mendapatkan anak perempuan, bibi berdoa semoga nanti dia semanis dirimu,” bisik
bibinya. Paman John mengusap kepala Fannie dan berkata, “Dah, anak manis. Kalau
induk kucing paman sudah melahirkan, nanti paman akan memberikanmu yang tercantik.”
Hal ini
membuat Fannie langsung tersenyum dan pikiran tentang anak laki-laki dengan
cepat menghilang dari dalam kepalanya.
Ellen
kemudian menggulung syalnya di sekitar bahu, lalu mengambil lentera yang telah
dinyalakan adiknya. Dengan menggandeng tangan kanan Fannie, mereka berdua
berjalan pulang ke rumah mereka yang berjarak tiga mil dari sana. Hujan deras
selama sepekan terakhir telah membuat jalan tanah tidak lagi dapat dilewati
dengan berjalan kaki. Ellen dan putrinya terpaksa harus melewati jalan di
sepanjang rel kereta. Trek tersebut dibangun di atas tumpukan batu kerikil
setinggi setengah mil sehingga dapat digunakan oleh pejalan kaki di musim
hujan. Treknya berliku-liku melewati pegunungan dan bukit. Begitu sampai di
atas jalur kereta, Fannie dan ibunya segera berjalan ke arah rumah mereka.
Ellen menceritakan kepada Fannie tentang tempat-tempat yang dilalui kereta di
sana. Fannie senang mendengarkan cerita ibunya tentang kota-kota besar di
tempat yang jauh. Dia hanya pernah ke kota beberapa kali dan tidak pernah
berjalan keluar dari Wise County. Fannie ingat papanya pernah bercerita tentang
saudaranya yang bernama Jack.
Paman Jack
telah pergi meninggalkan Wise County dan juga Virginia. Sekarang dia berada di
tempat yang jauh bernama Kuba. Dia kini sedang berjuang demi seseorang yang
bernama Roosevelt. Dia penasaran tempat seperti apa Kuba, dan apakah tempat
tersebut sama seperti tempat tinggalnya sekarang.
Sinar
mentari kini telah terbenam sepenuhnya di balik pepohonan yang berbaris
menyelimuti gunung. Kegelapan mulai merayap dari rimbunan pepohonan di
sekeliling jalur kereta. Suara gemerisik semak-semak membuat Fannie terkejut
setengah mati, namun suara ibunya yang menenangkan mengusir rasa takutnya.
“Tidak
apa-apa, nak. Hanya rubah dan tupai.”
Teriakan
suara burung hantu yang menggema dari dalam kegelapan membuat Fannie
mengencangkan genggaman tangan yang digandeng ibunya.
Malam
akhirnya menyelimuti seluruh tempat tersebut, dan satu-satunya yang dapat
terlihat hanyalah cahaya lentera dan bayangan mereka sendiri. Bulan tak
menghiasi malam, dan kerlipan cahaya bintang bersinar redup di antara gerakan
awan. Fannie tersandung oleh kerikil yang berserakan di landasan rel kereta.
Ellen baru tersadar bahwa putrinya kelelahan.
“Istirahatlah
sebentar, anak manis. Setengah mil lagi kita akan tiba di rumah.”
Ellen
meletakkan lenteranya di bawah. Mereka lalu mencari posisi duduk yang nyaman di
atas bantalan rel.
“Mammy, aku
takut gelap. Apakah Tuhan akan menjaga dan melindungi kita?”
“Ya, Fannie.
Ingat apa yang dikatakan oleh pendeta di gereja tadi. ‘Tuhan yang Maha Pengasih
akan selalu bersamamu, dan jika kau membutuhkan-Nya, maka sebutlah nama-Nya’.
Atau kalau mau yang lebih baik lagi, lakukan seperti apa yang dulu sering ibu
lakukan.”
“Apa itu,
Mammy?”
“Ibu menyanyikan
salah satu himne kesukaan ibu.” Ujar Ellen sambil mengelus rambut putrinya.
Ketika
Fannie sedang merenungkan nasehat ibunya, dia dikejutkan oleh sebuah suara.
Suara tersebut datang dari arah datangnya mereka, dan matanya menyisir ke dalam
kegelapan yang pekat. Suara itu sunguh pelan, tapi tidak seperti suara apapun
yang pernah didengarnya. Suara tersebut seperti suara langkah kaki seseorang
yang berjalan mendekati mereka.
“Apa Mammy
mendengarnya?”
“Mendengar
apa, sayang?”
Fannie
bergeser lebih dekat dengan ibunya dan berkata, “Suara seseorang yang berjalan
mendekat!”
Ellen
mendekap putrinya dan menjawab, “Itu hanya khayalanmu saja, Fannie. Kita sudah
cukup istirahat. Ayo, jalan lagi. Nanti ayahmu cemas.”
Ellen
mengambil lentera, dan menggandeng tangan Fannie. Mereka pun kembali
melanjutkan perjalanan. Beberapa saat kemudian, suara yang membuat Fannie
ketakutan kini terdengar lagi. Suara langkah kaki tersebut semakin jelas dan
lebih dekat. Suara hentakan sepatu but yang berat menggema dari dalam kegelapan.
“Mammy, aku
mendengarnya lagi!”
“Jangan
teriak, nak.”
Ellen
kemudian mengayun-ayunkan lenteranya.
“Lihat,
tidak ada apa-apa, ‘kan?”
Fannie
mengencangkan genggaman tangannya dan mengapit bonekanya dengan lebih kencang.
Teriakan burung hantu menggaung dari kejauhan, dan angin malam membuat dedaunan
bergemerisik.
“Masih ada
bau hujan di udara,” ujar Ellen. “Angin juga hanya berhembus sedikit kencang.
Sebentar lagi kita akan sampai di rumah, sayang. Di sana belokan terakhir.”
Fannie
merasa tenang mendengar suara ibunya, namun dari balik kegelapan di belakang
mereka, suara langkah sepatu but semakin keras.
“Mammy,
suaranya semakin dekat!”
Ellen
mengayunkan lenteranya lagi dan berkata, “Nak, tidak ada apa-apa di sana.
Begini saja, ayo kita bernyanyi ‘Tuhan yang Maha Mulia’”
Fannie
bernyanyi bersama ibunya, tapi suaranya gemetar karena ketakutan saat suara
langkah kaki tersebut semakin dekat. Dia tidak mengerti kenapa ibunya terlihat
tidak tahu menahu dengan suara tersebut.
Nyanyian
Ellen semakin kencang, dan di depan sana, sinar lampu rumah mereka mulai
terlihat berkedip-kedip dari balik pepohonan. Saat mendengar gonggongan anjing
di kejauhan, mereka berhenti bernyanyi.
“Lihat, nak?
Kita hampir sampai. Tinker akan berlari menyambut kita. Dia dulu pernah
mengejar harimau hutan. Dia akan memastikan kita sampai di rumah dengan
selamat.”
“Kalau
begitu, ayo kita berjalan lebih cepat, Mammy. Apa Mammy tidak dengar? Aku
takut. Suara itu semakin dekat. Ayo kita lari!”
“Baiklah,
nak, tapi lihat sendiri, ‘kan? Tidak ada apa-apa di sana.”
Ellen sekali
lagi mengayunkan lenteranya dan ketika mereka semakin dekat dia berteriak,
“Tinker! Ayo kemari!”
Tinker, sang
anjing, segera berlari mendekati Fannie dan Ellen. Mereka berdua hampir
bertabrakan dengan Tinker saat mereka berjalan turun dari jalur kereta.
“Ellen, apa
itu kau?”
Hati Fannie
membuncah gembira saat mendengar suara ayahnya dari dalam kegelapan.
“Ya, Lige.
Maaf kami pulang larut. Kurasa aku berjalan agak cepat sehingga Fannie
kelelahan.”
Elijah
mengangkat putrinya, lalu menggendongnya sampai ke rumah mereka. Ketika sudah
berada di dalam rumah, Ellen membantu Fannie melepaskan bajunya dan membawanya
ke tempat tidur.
Suara
percakapan orang tuanya terdengar dari arah dapur. Bahkan suara dengkuran
kakak-kakaknya yang tidur di kamar sebelah membuat Fannie tersenyum dan
bersyukur karena dia dan ibunya dapat sampai di rumah dengan selamat. Sebelum
terlelap, Fannie mendengar suara ibunya.
“Lige, tadi
aku mendengar suara langkah kaki seseorang. Aku tidak ingin membuat Fannie
ketakutan, jadi aku tetap bernyanyi dan mengayun-ayunkan lentera dan mengatakan
pada Fannie bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Tapi Lige, tepat sebelum
kami turun dari jalur kereta, aku mengayunkan lentera untuk terakhir kalinya.
Saat itulah aku melihat siapa yang sedang mengikuti kami. Aku melihat sosok
seseorang. Seorang manusia tanpa kepala!”
[selesai]
Comments
Post a Comment