Nyanyian Hujan
Cerpen “Nyanyian
Hujan” (versi
asli)
(Cerpen
Perdana dimuat di majalah Femina edisi 32/XLII/15-21 Agustus 2015)
Aku terpana pada
sesosok lelaki jangkung bermata teduh, Keansantang. Usianya dua belas tahun
lebih tua dariku. Pak Tama, kolega Mama, mengenalkannya padaku. Beliau
sepertinya sedang berusaha menjodohkanku. Yang terbersit di hatiku saat
berjabat tangan tangan dengan Kean hanyalah, “Sepertinya laki-laki ini orang
baik.” Raut Kean seolah memancarkan sesuatu yang aku rindukan.
***
Udara siang yang menyengat di dusun
Kreyo, Palimanan, seakan tersamarkan oleh sambutan hangat, mbok Siti, ibunda Kean. Ia terlihat bersahaja dengan balutan
kebaya cokelat dan kain batik bermotif bunga. Sebuah aliran air sungai yang
jernih terpancar dari matanya seolah berkata, “selamat datang di keluarga
kami”. Itu membuat hatiku sejuk. Ditambah lagi deretan pohon mangga cengkir
yang lebat, pisang dan kelapa di sekitar halaman membuat suasana asri. Tak
seperti suasana rumahku yang selalu panas oleh pertengkaran Mama dan ayah
tiriku serta polah adik tiriku, Beni, yang semakin lama semakin menjadi.
“Priye
mbok?” bisik Kean
pada ibunya sambil melirik padaku.
“Ibu setuju saja siapapun wanita
pilihanmu, Kean.” Jawab mbok Siti dalam bahasa Cirebon. Tak pernah sekalipun orangtua
Kean turut campur dalam kehidupan ketujuh anaknya. Hal itu yang membuat mereka
menjadi pribadi yang percaya diri menjalani hidup.
Cara Kean bertutur dan tawanya yang
lepas berhasil menyejukkan jiwaku. Aku hampir lupa dengan tawa. Entah kapan
terakhir kali tertawa.
“Kamu tahu rumba?” Kean mulai mempromosikan menu spesial di rumahnya.
“Rumba?” Keningku berkerut. Bagiku, kata itu
terdengar seperti nama alat musik tradisional.
“Masakan mbok yang enak banget.”
“Kok namanya lucu.”
“Kadang masakan mbok tuh, nggak ada namanya tapi rasanya luar biasa. Rumba tuh terbuat dari daun singkong,
kangkung, atau pisang klutuk muda. Semuanya pakai kelapa parut. Meski pakai
kelapa, kalau mbok yang masak, nggak akan basi.” Jelas Kean.
“Kok bisa?” Aku tersenyum kagum,
betapa mbok pintar memasak. Tiba-tiba, nasihat Mama mengiang di
telingaku, “anak perempuan tuh, harus bisa
memasak. Apalagi gadis Minang, bisa memasak rendang, itu satu prestasi
membanggakan.” Mama dibesarkan oleh orangtua yang
juga pintar memasak. Rendang buatannya paling empuk sedunia.
Selama ini, aku hanya seorang penikmat
masakan Mama. Aku malu pada Mama yang tetap sempat memasak walau aktivitas di
kantor eight to five. Saat hari libur tiba, aku lebih
memilih bermalas-malasan atau hanya berbenah kamar tidur.
Kean meneguk segelas air di hadapannya
hingga tandas lalu ia pergi ke dapur dan bertanya, “Masak rumba ta, mbok?”
“Iya, nanti bikin. Masak telur
pindang dulu,” jawab mbok. Sesekali ia diganggu cucunya, Fajri, meminta ini dan itu.
Menurutku selalu ada semacam magic
spell di setiap masakan seorang ibu. Selain
bumbu rahasia, cinta dan ketulusan adalah dua hal utama yang mampu menghipnotis
lidah.
Aroma masakan memenuhi semua sudut rumah dan menggoda hidungku. Terbit
keinginan untuk bertanya tentang resep rahasia masakan mbok, namun urung. Aku bukan tipe orang yang
mudah mendekati orang baru kecuali pada Kean.
***
Mentari senja
beranjak pulang. Aku dan Kean pergi ke tajug selepas azan ashar. Salat berjamaah sudah menjadi
kebiasaan keluarga ini dan Kean menjadi imam. Mbok telah lebih dulu berada di sana, Fajri turut bersamanya.
Hatiku menciut
dan kaku. Betapa aku merasa iri pada Kean. Mama tak pernah mengajarkanku
bagaimana memperoleh ketentraman hati seperti yang Kean dan ibunya lakukan di tajug ini. Yang aku mengerti hanya bagaimana senyum Mama tetap
mengembang di balik wajah lelahnya sepulang bekerja. Mungkin setiap ibu di
dunia memberikan makna ketenteraman yang berbeda pada anak-anaknya.
Seusai salat,
aku meraih tangan kanan mbok dan mengecupnya, setelah Kean melakukannya lebih dulu. Mbok mengangguk diiringi senyuman teduhnya padaku. Seketika
itu, aku merasa diriku akan menjadi bagian dari keluarga Kean. Walau aku masih
belum yakin apakah aku bisa menempatkan Kean di ruang hatiku setelah Teguh.
Untuk pertama
kalinya, aku mencium punggung tangan kanan Kean. Entah untuk apa aku
melakukannya. Desiran di dada ini begitu menghebat hingga menggerakkan syaraf
tanganku.
“Dita, aku
membangun tajug ini bersama bapak saat aku masih kelas satu SMA.” Ujar
Kean sembari kedua matanya menerawang jauh ke depan. Seolah sedang mengingat
peristiwa yang membuatnya merasa sebagai laki-laki dewasa. Kami duduk bersisian
di teras tajug sambil menikmati desiran angin senja yang membuatku
semakin betah. Sementara Mbok kembali ke rumah bersama Fajri.
“Oh…” Aku
mengangguk. Sesekali semilir angin memainkan helaian rambutku.
“Setelah tajug ini jadi, aku membuat sebuah madrasah supaya anak-anak di
sekitar sini kalau mengaji tidak harus pergi jauh ke mesjid desa sebelah.”
Sebongkah rasa
kagum hadir lagi di salah satu sudut hatiku. Seusia itu, aku hanya sibuk dengan
perasaanku yang tak menentu. Sikap Teguh yang sesekali acuh padaku ditambah
dengan perlakuan ayah tiriku pada Mama yang menjelma menjadi mimpi buruk.
“Kang Kean berarti mengajar anak-anak mengaji setiap hari?”
“Ya, setelah
ashar dan magrib.”
“Murid akang sudah banyak?”
“Awalnya hanya
sepuluh orang. Sekarang, sudah puluhan generasi. Aku dibantu beberapa alumni
yang sudah mahir membaca Al Quran.”
“Wah, pasti
lulusan madrasah di sini sudah jadi perantau seperti kang Kean.”
“Teman-teman
pengurus madrasah sudah jadi dosen di perguruan tinggi di Bandung. Alumni juga
banyak yang merantau ke Jakarta dan Bandung menjadi pedangang yang sukses.”
“Kang Kean tinggal di Bandung sejak kapan?”
“Sejak
memutuskan untuk ikut tes masuk perguruan tinggi negeri. Waktu itu, almarhum
bapak hanya membekali uang dua ratus ribu untuk pendaftaran. Sisanya, aku cari
sendiri dengan bertualang dari satu pesantren ke pesantren lain, berdagang kecil-kecilan,
bekerja di pabrik, sampai akhirnya kuliah bisa selesai.”
Alasan untuk mulai jatuh cinta pada
Kean semakin jelas di benakku. Ia mirip Teguh yang gigih dengan tujuannya.
Namun Kean begitu matang dan relijius. Teguh
memang tak
pantas untuk dipertahankan jika dibandingkan dengan Kean. Ia telah dirasuki
setan hingga menghamili perempuan yang baru saja dikenalnya.
“Dita, kamu
sudah lama bekerja kantoran?”
“Belum lama,
baru dua tahun. Awalnya sih, aku cuti kuliah dan ingin bekerja supaya bisa
bayar kuliah sendiri. Melamar ke restoran fast food, tapi nggak beruntung. Tiba-tiba datang kesempatan dari
sebuah perusahaan tempat pamanku bekerja. Aku coba ikuti ujian masuk dan
lulus.” Aku merasa sesuatu akan tumpah dari kelopak mataku. Namun, berhasil
kutahan.
“Mama sudah
pensiun?”
“Mama memilih
pensiun dini. Mama nggak mampu membiayai kuliahku karena uang pensiun Mama
habis begitu saja.” Memoriku berputar ke saat ayah tiriku menguras semua
pesangon pensiun Mama demi kesenangannya sendiri. Sejak itu, aku benar-benar
membencinya. Aku merasa lega setelah Mama bercerai dengannya.
Tanpa sengaja,
kami beradu pandangan. Kean menatapku dalam. Beberapa jenak aku kikuk, tak
kuasa menerima tatapan itu. Aku membuang pandangan ke halaman rumah dan
berusaha keras mengatur debaran hebat di hati.
“Besok pagi,
setelah sarapan, kita pulang ke Bandung. Tapi kalau kamu masih betah, lusa
saja.” Perkataan Kean menghentikan kegugupanku sejenak.
“Wah, aku bisa
kena teguran bos-ku di kantor karena bolos kerja. Karyawan kontrak harus rajin, kang.”
Kean tertawa
renyah. “Nggak enak juga ya, kerja kantoran. Nggak bisa seenaknya libur.”
“Kang, kapan kita jalan-jalan ke keraton
Kasepuhan? Aku pengin tahu mesjid merah.”
“Mungkin
nanti. Banyak hal menarik di sana.” Kean menyungging senyum seolah menanam satu
harapan untuk pergi bersamaku lagi.
Langit mulai
berubah pekat dan rinai hujan mulai membasahi pekarangan dan pohon-pohon. Mbokterlihat
menggiring ayam-ayam peliharaannya ke kandang di samping dapur. Aku memutuskan
untuk menyegarkan diri sebelum magrib menjemput. Sementara Kean mencandai Fajri
sambil menyimak tayangan televisi.
***
Usai makan
malam dengan rumba daun singkong dan telur pindang yang lezat, Kean
mengajakku berbincang tentang segala hal. Masa kecilnya hingga para pelaku
politik yang aku tak terlalu paham dunianya. Kean berhasil membuatku betah
berlama-lama menikmati tawa di antara cerita dan kelakar. Jarum jam dinding
telah menunjuk ke angka sepuluh. Aku mulai menguap.
“Dita, kamu
tidur di kamar mbok di depan. Mbok jarang tidur di situ, lebih sering
sama Fajri di depan teve.”
Aku
mengiyakan. Sementara Kean memilih tidur di kursi tamu. Ranjang besi yang ada
di kamar ini mengingatkanku pada nenek. Namun si kelambu tak lagi terpasang,
hanya besi-besi penyangga saja yang terlihat. Pintu kamar yang tak bisa
dikunci, kututup rapat. Kasur kapuk berbalut seprai batik yang bersih, bantal
kapuk yang empuk, tak kunjung membuatku mengantuk. Pandanganku mengitari bilik
langit-langit kamar. Aku nggak percaya, mengapa aku
berada di sini? Nyanyian hujan mengalun merdu diringi
suara katak blentung yang hanya hadir di musim penghujan. Nyanyian penyejuk
jiwa dari Yang Kuasa. Aku berusaha memejamkan kedua mataku, dan hujan semakin
deras diiringi petir.
***
Entah pukul
berapa aku terlelap. Malam berganti subuh. Suara azan membangunkanku. Segera
aku mengambil peralatan mandiku, lalu keluar dari kamar. Kean tengah duduk di
ruang depan.
“Mau langsung
mandi?” tanyanya sambil merapikan sarung kotak-kotak hijau.
“Iya, Kang. Gerah.”
“Aku salat
subuh duluan, ya? Kamu salat di kamar saja nanti.”
Aku mengangguk.
Sesaat setelah
Kean pergi ke tajug, seorang wanita paruh baya berbalut
daster batik memberiku alat salat sambil tersenyum ramah. Menurut perkiraanku,
ia kakak Kean. Entah kapan ia datang. Mungkin tadi malam saat aku terlelap.
***
Sejujurnya aku
tak ingin meninggalkan tempat ini. Perasaanku mengatakan, aku akan kembali lagi
ke sini. Kean pun sepertinya berat meninggalkan ibunya. Rutinitas kepulangannya
hanya satu atau dua bulan sekali.
“Nok Dita, ini bawa untuk ibu di rumah,
ya?” kata Mbok dalam bahasa Cirebon. Ia membekaliku beberapa bungkus
krupuk beraroma bawang, buah mangga cengkir, krupuk melinjo, dan gula batu.
“Terimakasih,
bu.” Aku menerimanya dengan senang walaupun sebenarnya khawatir Kean kerepotan.
Tas ranselku pun sudah sesak.
“Wis mbok, ora cukup tempate
ning motore.” Kean
terlihat resah.
“Lebetaken nang bagasi atau tas,
Kean.” Mbok memaksa Kean membawa seluruh bekalku.
Kean mengalah,
dan melaksanakan perintah ibunya.
Kami pamit
lalu menaiki motor Kean. Sisi kiri jalan pintas perkampungan yang kami lewati
menyajikan siluet gunung Ciremai. Begitu jelas terbingkai langit pagi yang
berseri-seri. Area persawahan terbentang luas dan padi-padi di sana telah
dipanen. Sungguh anugerah pagi yang tak bisa kusangkal.
“Kang, bagus ya, pemandangan di sini.”
“Kamu baru
lihat, ya, gunung Ciremai?”
“Iya. Cuma
pernah dengar dari kakakku.”
“Oooh…” Kean
mengangguk dan kembali fokus ke depan. Sesekali ia merespon
pertanyaan-pertanyaanku.
Tiba-tiba aku
teringat perempuan yang memberiku alat salat, subuh tadi.
“Kang, tadi subuh itu siapa? Ada perempuan
di rumah, selain mbok.”
“Oh, itu kang Kesturi. Anak pertama mbok.”
“Kok kang Kean manggil ‘kang’ juga sama kakak perempuan?”
“Di sini,
sebutan ‘kang’ itu berlaku untuk kakak perempuan juga laki-laki.”
“Oh, gitu.”
Gapura
‘Selamat datang di kabupaten Cirebon’ telah terlewati. Kami singgah di sebuah
warung di perbatasan Tomo-Sumedang. Dahaga sirna oleh aliran air kelapa muda.
Pemandangan sungai Cimanuk yang bantarannya dihiasi ilalang tak luput dari
penglihatan kami.
Kean menyesap
air kelapa mudanya perlahan lalu menoleh ke arahku. “Dita, gimana kalau awal
bulan depan aku melamar kamu?”
Dadaku
terhenyak mendengar itu. Aku mengaduk air kelapa di hadapanku sambil mencari
jawabannya.
“Mmm…
melamar?” Aku masih ragu, terlebih ketika Kean mengajakku ke kampungnya dan
berkata “aku ingin mengenalkanmu pada
ibu sebagai calon istri.”
Kean
mengangguk dan menatapku cukup lama, menunggu jawaban.
Aku menyesap
air kelapa untuk melegakan dadaku lalu berkata, “Terserah kang Kean.” Bayangan Teguh belum
benar-benar hilang di ruang hati ini. Sangat sulit menghapus kenangan-kenangan
yang telah terukir selama enam tahun. Ya, Tuhan, apakah Kean adalah
pengganti Teguh?
***
Setelah
otot-otot kaki cukup nyaman, kami melanjutkan perjalanan. Aku melihat-lihat
pemandangan di sepanjang jalan sebagai pengusir kantuk.
“Dita, kok,
kamu nggak ada suaranya? Ngantuk?” Kean menepuk lututku tanpa menoleh ke
belakang.
“Hehe, iya, kang.”
Aku merasakan perih di kedua mataku.
Kean tertawa
ringan. Hening menguasai kami. Hanya suara deru mesin motor dan kendaraan lalu
lalang mendominasi. Sampailah kami di kawasan Nyalindung.
Aku menepuk
pundak Kean dan memintanya untuk berhenti di depan kios penjual peuyeum gantung. “Kang, aku mau beli peuyeum buat Mama.”
Kean menepikan
sepeda motornya.
Selesai
memilih dan membayar, kami melanjutkan perjalanan. “Kang, maaf, ya, jadi menambah beban
penumpang motor, nih.”
“Nggak
apa-apa. Mumpung kita lewat sini.” Kean menggantungkan keranjang peuyeum di motornya.
Di sisa
perjalanan, Kean setia mendengarkan ceritaku tentang Mama, juga tentang Teguh.
Entah untuk apa aku jujur soal Teguh. Namun rasa sakit yang masih bercokol di
dada perlahan menguap karenanya.
***
“Mamaaa! Aku
pulang!” Aku mengecup pipi Mama, kiri dan kanan.
Mama sedang menikmati
ubi ungu kukus dan segelas teh pahit di ruang depan. Aku membawa masuk buah
tangan dari mbok dan peuyeum tadi. Kean mengekori setelah memarkirkan motor.
“Assalammu’alaikum.” Kean meraih tangan kanan Mama dan
mengecupnya.
“Alhamdulillah, sampai rumah dengan selamat,” ujar
Mama sambil mengulas senyum.
“Sebentar ya, kang.
Aku ambil minum dulu.”
Kean terlibat
obrolan ringan dengan Mama.
“Gimana ibu,
sehat?”tanya Mama pada Kean.
“Alhamdulillah,
bu. Mbok selalu sehat.”
“Terakhir Mama
ke Cirebon waktu Papa Dita masih ada. Ada paman Dita di Majalengka.”
“Oh,
Majalengka agak jauh dari Palimanan.”
“Wah, Mama
nggak bakal kuat naik motor ke sana.”
“Bisa tiga jam
non stop sampai di Palimanan. Kami tadi sempat istirahat di Sumedang. Jadi
kurang lebih empat jam.” Jelas Kean. “Bu, nanti kalau saya ajak Dita lagi ke
sana, boleh, ya, bu?”
“Kalau Dita
mau, ya silakan. Hati-hati di jalan. Perjalanan jauh naik motor itu bahaya.”
Aku menyajikan
secangkir kopi di meja untuk Kean lalu pamit sejenak untuk mengganti baju.
***
Sabtu pagi,
Mama mengijinkanku pergi bersama Kean ke kawasan wisata gunung Tangkuban
Perahu. Aku yang mengajak Kean ke sana. Kupikir kejenuhan pekerjaan sebagai
staf administrasi yang monoton selama lima hari di kantor akan sirna.
Laju motor
Kean tak terlalu terburu-buru hingga perjalanan sangat kami nikmati. Pintu
masuk menuju kawasan gunung Tangkuban Perahu telah di depan mata.
Aku membayar
tiket masuk. Kami melewati jalanan yang tertutup kabut. Samar-samar terlihat
beberapa pengunjung sedang berjalan kaki, dan lainnya menaiki sepeda motor.
Setelah sampai di tempat parkir, kami berjalan ke tepian kawah yang berpagar
kayu. Beberapa pengunjung yang mengabadikan momen. Kami memerhatikan kepulan
asap kawah Tangkuban Perahu dan terdiam. Hanya aroma bau belerang yang tak mau
diam menusuk ke hidung.
Kean membelah
kebisuan, “Dita, kira-kira kapan, ya, tanggal yang tepat?”
Kami saling
berpandangan lalu aku tertunduk. Tetesan hujan mulai ribut bersama kabut.
Beberapa orang terlihat berlari menuju warung tenda penjaja makanan. Aku dan
Kean masih berdiri di sana.
“Tanggal
sembilan?” tanya Kean lagi dengan senyuman lucu.
Aku menangkap
sorot bola matanya yang jujur, lalu berkata, “Terserah kang Kean.”
Tetesan air
dari langit semakin merdu seolah membelai luka hatiku. Kean meraih tanganku dan
mengajakku ke warung penjual bandrek. Hatiku melagu seiring sesapan minuman hangat itu.
*****
Comments
Post a Comment