The Wicker Husband (Suami Anyaman)
The Wicker Husband
[Suami Anyaman]
Cerpen Terjemahan
Pengarang: Ursula
Wills-Jones
Penerjemah: Harum Wibowo
Pada zaman
dahulu kala, hiduplah seorang gadis yang buruk rupa. Dia bertubuh pendek dan
gemuk. Salah satu kakinya lebih panjang, dan alis matanya saling menyambung.
Membersihkan perut ikan merupakan pekerjaannya sehari-hari, sehingga tangannya
selalu berbau aneh dan bajunya dipenuhi sisik-sisik ikan. Dia tidak memiliki
ibu, ayah, saudara, maupun teman. Dia tinggal sendirian di sebuah gubuk yang
bobrok di pinggiran desa. Namun begitu, dia tidak pernah mengeluhkan
kondisinya.
Satu demi
satu, gadis-gadis di desa menikahi laki-laki di sana. Mereka
berjingkrak-jingkrak naik ke pelaminan gereja dan tersenyum sepanjang jalan.
Pada saat pesta pernikahan, gadis buruk rupa itu selalu berdiri di belakang
gereja, tercium sedikit bau amis dari tubuhnya. Para wanita desa selalu
menggunjingnya. Mereka penasaran dengan apa yang dia lakukan terhadap uang
penghasilannya. Gadis buruk rupa itu tidak pernah membeli sebuah baju ataupun
rok baru, tidak pernah memperbaiki rumahnya, dan tidak pernah minum-minum di
kedai minuman.
Di luar
desa, di sebuah rawa yang sangat besar, hiduplah seorang pengrajin anyaman yang
telah lanjut usia, dia terkenal karena kualitas hasil kerjanya. Suatu hari,
pengrajin anyaman itu mendengar ketukan di pintunya. Ketika dia membukanya,
gadis buruk rupa itu berdiri di sana. Di tangannya, dia memegang enam koin
emas.
“Tolong
buatkan aku seorang suami,” ujar gadis itu.
“Kembalilah
lagi dalam waktu satu bulan,” jawabnya.
Pengrajin
anyaman tersebut benar-benar merasa tersentuh karena gadis buruk rupa itu
mempercayakan sebuah tugas sepenting itu kepadanya. Dia memutuskan
membuatkannya suami yang terbaik. Dia membuat suami anyaman itu mempunyai bahu
yang lebar dan kaki yang panjang, dan semua hal yang disukai para wanita.
Rambutnya hitam kecoklat-coklatan, matanya berwarna hijau kemerah-merahan.
Ketika saat
yang telah ditunggu-tunggu tiba, gadis buruk rupa itu mengetuk pintu sang
pengrajin anyaman.
“Calon
suamimu mengatakan bahwa hari ini terlalu cepat. Dia akan berada di gereja
besok, tepat jam sepuluh,” sahut sang pengrajin anyaman. Gadis buruk rupa
itupun pergi, dan menghabiskan harinya dengan mengikis sisik-sisik ikan di
bajunya.
Malam
harinya, seseorang mengetuk pintu sang penjahit di desa. Ketika penjahit itu
membukanya, sang suami anyaman sedang berdiri di luar.
“Pinjami aku
setelan,” katanya. “Aku akan menikah besok pagi, dan aku tidak ingin pergi ke
gereja tanpa sehelai benangpun.”
“Aaaaaaargh!”
teriak sang penjahit baju. Dia segera berlari keluar dari pintu belakang.
Istri
penjahit baju itu keluar sambil menyeka wajahnya. “Ada apa?” tanyanya.
“Pinjami aku
setelan,” kata sang suami anyaman. “Aku akan menikah besok pagi, dan aku tidak
ingin pergi ke pernikahanku tanpa sehelai benangpun.”
Istri
penjahit itupun memberikannya sebuah setelan, dan membanting pintu di depan
mukanya.
Selanjutnya,
sang suami anyaman mengetuk pintu pengrajin sepatu. Ketika pengrajin sepatu
membuka pintunya, suami anyaman berdiri di depan sana.
“Pinjami aku
sepasang sepatu,” katanya. “Aku akan menikah besok pagi, dan aku tidak bisa
pergi ke gereja dengan bertelanjang kaki.”
“Aaaaaaargh!”
teriak sang pengrajin sepatu, dan lari keluar dari pintu belakang.
Istri
pengrajin sepatu itu akhirnya keluar dengan tangan gemetaran.
“Apa yang
kau inginkan?” kata wanita itu.
“Pinjami aku
sepasang sepatu,” katanya. “Aku akan menikah besok pagi, dan aku tidak bisa
pergi ke gereja dengan bertelanjang kaki.”
Istri
pengrajin sepatu memberikannya sepasang sepatu, dan membanting pintu di depan
mukanya. Kemudian, sang suami anyaman itupun pergi ke sebuah kedai minuman di
desa itu.
“Berikan aku
minuman,” kata suami anyaman. “Aku akan menikah besok, dan aku ingin
merayakannya.”
“Aaaaaaargh!”
teriak penjaga penginapan dan semua pelanggannya, dan mereka lari keluar. Suami
anyaman yang malang itupun pergi ke belakang meja bar, dan menuangkan segelas
minuman untuk dirinya sendiri.
Ketika gadis
buruk rupa tiba di gereja pada pagi harinya, dia benar-benar sangat senang
mengetahui suaminya sangat tampan, dan begitu pula dengan suami anyaman.
Ketika
pasangan itu telah menikmati malam pertama pernikahan mereka, sang suami
anyaman berkata pada istrinya, “Tempat tidur ini sudah rusak. Bawakan aku
alat-alat pertukangan. Aku akan memperbaikinya.”
Seperti
suami yang baik pada umumnya, dia mulai memperbaiki tempat tidur. Gadis buruk
rupa itu pergi keluar untuk membersihkan perut ikan. Ketika gadis itu akhirnya
kembali, sang suami anyaman menatapnya, dan berkata, “Aku diciptakan untuk
bersamamu.”
Ketika
pasangan itu telah menikmati malam kedua pernikahan mereka, sang suami anyaman
berkata, “Atap ini bocor. Bawakan aku tangga. Aku akan memperbaikinya.”
Jadi,
seperti seorang suami yang baik, dia menaiki tangga dan mulai memperbaiki atap
rumah mereka yang terbuat dari ilalang. Sang gadis buruk rupa pergi keluar
untuk membersihkan perut ikan. Ketika gadis itu kembali pada malam harinya,
sang suami anyaman menatap istrinya dan berkata, “Tanpamu, aku mungkin tidak
akan pernah bisa melihat cahaya mentari, atau riak awan di langit.”
Ketika
pasangan itu telah menikmati malam ketiga pernikahan mereka, sang gadis buruk
rupa bersiap-siap untuk pergi keluar. “Cerobong asapnya perlu dibersihkan,”
katanya, memohon, “Dan perapiannya bisa diletakkan…” Tapi tepat pada saat itu,
dia mulai memahami ekspresi-ekspresi wajah suaminya. Sang suami anyaman tampak
sangat ketakutan. Dari sinilah sang gadis buruk rupa mulai mengerti bahwa ada
beberapa hal yang tidak bisa dipinta dari seorang laki-laki, walaupun dia
sangat baik.
Seminggu
kemudian, para warga mulai menyadari perubahan diri gadis buruk rupa itu. Jika
salah satu kakinya tetap lebih pendek daripada yang satunya lagi, kini
pinggulnya digerakkan dengan ayunan yang tidak menyenangkan bagi mereka. Jika
dia tetap tercium aneh, dia menyanyi selagi dia membersihkan perut ikan. Dia
membeli baju baru dan mengenakan bunga-bunga di rambutnya. Bahkan alis matanya
tidak lagi menyatu; sang suami anyaman telah menarik alisnya dengan jarinya
yang kuat. Ketika para warga melewati pintu rumah gadis buruk rupa itu, mereka
melihat rumahnya telah dicat baru, jendelanya berkilau, dan pintunya tidak lagi
tergantung miring. Kalian mungkin mengira bahwa semua perubahan ini membuat
senang warga desa itu, tapi ternyata tidak. Malahan para istri menyalahkan para
suaminya karena pintu mereka perlu diperbaiki, dan kenapa mereka tidak
berinisiatif untuk memperbaikinya? Para lelaki menjawab dengan ketus bahwa
mungkin jika istri-istri mereka berusaha untuk membeli baju baru dan mengenakan
bunga di rambut mereka, maka mungkin mereka akan mau memperbaiki rumahnya, dan
semua orang mengeluh dan mengutuk satu sama lain, namun diam-diam, dalam hati
mereka, mereka menyalahkan sang gadis buruk rupa dan suaminya.
Sementara
itu, sang gadis buruk rupa tidak menyadari semua kecemburuan itu. Dia terlalu
sibuk dengan membiasakan dirinya dengan kehidupan pernikahannya, dan menyadari
keuntungan dari seorang suami yang terbuat dari anyaman. Sang suami anyaman
tidak makan, dan tidak pernah mengeluh jika makan malamnya terlambat. Dia hanya
minum air putih, semakin berlumpur semakin baik. Gadis itu sedikit sedih karena
dia tidak bisa membuatkannya makan malam seperti seorang lelaki pada umumnya,
dan memperhatikannya ketika suaminya sedang makan. Di malam yang dingin, istrinya
berharap mereka dapat duduk bersama dekat dengan perapian, tapi suaminya lebih
memilih tempat yang gelap, jauh dari api. Sang gadis buruk rupa telah terbiasa
memanggilnya dari kamar seberang untuk mengatakan hal-hal yang ingin dia
katakan pada suaminya. Saat musim dingin berganti menjadi musim semi, dan hujan
mulai mengguyur, sang suami anyaman menjadi sedikit bulukan, dan sang gadis
buruk rupa harus menggosoknya dengan sebuah sikat dan sebotol cuka. Musim
semipun berganti menjadi musim panas, dan bulan Juni ini sangat kering. Sang
suami anyaman mengeluhkan kekakuan di sendi-sendinya, dan menghabiskan jam-jam
yang paling panas pada hari itu dengan berbaring di sungai. Sang gadis buruk
rupa mengambil alat pembersih ikannya, dan duduk di pinggiran sungai, menemani
suaminya.
Akhirnya
para warga tidak tahan lagi dengan rasa penasaran mereka. Ada sebuah pesta
pernikahan di desa; sang gadis buruk rupa dan suaminya diundang. Di pesta
pernikahan, ada music, tari-tarian, makanan dan wine. Saat para musisi
memainkan musik, sang suami anyaman dan sang gadis buruk rupa menari. Para
warga tidak tahan melihat mereka; sang suami anyaman bergerak dengan baik. Dia
mengangkat istrinya yang gemuk seolah-olah dia seringan bulu, dan
mengayun-ayunkan istrinya. Suaminya bergoyang dan terlihat berkilau; gerakannya
elegan dan menawan. Gadis buruk rupa itu merasa dirinya telah berada di surga.
Para wanita
mulai berbisik dengan tangan menutupi mulut mereka. Sekarang, istri tukang
pandai besi menjadi berani, dan dia memutuskan untuk meminta sang suami anyaman
berdansa bersamanya. Ketika musik berhenti sebentar dia berjalan ke arah
pasangan itu. Sang gadis buruk rupa sedang duduk di pangkuan suami anyaman,
sehingga sang suami anyaman retak sedikit. Istri pandai besi itu sudah hampir
menepuk pundak sang suami anyaman, tapi tangan sang suami anyaman melingkar
memeluk sang gadis buruk rupa itu.
“Kau adalah
satu-satunya alasan aku hidup dan bernafas,” kata sang suami anyaman kepada
istrinya.
Istri pandai
besi itu mendengar ucapannya, dan pergi menjauh dengan perasaan sebal. Hari
berikutnya, ada banyak amarah berjumbai di desa itu.
“Kau selalu
bermalas-malasan!” teriak istri pengrajin sepatu kepada suaminya.
“Kau tidak
pernah mengatakan hal-hal yang menyenangkan padaku!” teriak istri pandai besi.
“Satu-satunya
hal yang kau lakukan adalah melihat wanita lain!” teriak istri pembuat roti,
walaupun bagaimana dia bisa mengetahuinya tetap saja menjadi misteri, karena
dia tidak melakukan apapun kecuali memandang sang suami anyaman sepanjang
malam. Para suami lari dari rumah mereka dan berkumpul di kedai minum.
“Itu gak
benar,” kata mereka sambil komat-kamit, “Ini gak seperti biasanya.”
“Mengecat
pintu.”
“Memperbaiki
atap.”
“Membisikkan
hal-hal manis yang gak berguna.”
“Menari!”
kata tukang pandai besi sambil komat-kamit, dan mereka semua mencaci-maki.
“Dia bukan
lelaki sejati,” kata pembuat roti. “Menjijikkan!”
“Dia tidak
makan.”
“Dia tidak
mengeluh.”
“Dia bahkan
tidak buang angin,” timpal tukang jahit dengan muram.
Para lelaki
menggelengkan kepala mereka, dan setuju bahwa hal ini tidak dapat dibiarkan.
Sementara
itu para wanita saling berkumpul di dapur mereka.
“Itu tidak
benar,” kata mereka komat-kamit. “Kenapa gadis itu pantas mendapatkannya?”
“Itu pasti
karena mantra sihir,” bisik mereka. “Dia sudah menyihirnya.”
“Selanjutnya
dia juga akan menyihir para suami kita, kurasa,” kata istri pembuat roti. “Kita
harus hati-hati.”
“Dia perlu
dipancang sekali atau dua kali.”
“Dia
mengkhayal jika dia berpikir bahwa dia lebih baik dari kita semua.”
“Bunga di
rambutnya!”
“Apa kau
melihat tariannya?”
Dan mereka
semua setuju kalau hal ini tidak dapat dibiarkan.
Suatu hari,
sang suami anyaman sedang dalam perjalanan pulang dari mengecek perangkap
ikannya, ketika dia disapa oleh si pembuat roti.
“Hello,”
kata si pembuat roti. Sang suami anyaman terlihat sedikit terkejut karena
sebelumnya si pembuat roti tidak pernah mau berbicara dengannya. “Kau sangat
berkesan malam kemarin.”
“Benarkah?”
kata sang suami anyaman.
“Oh, iya,”
lanjut si pembuat roti. “Para wanita menjadi berdebar-debar. Tidakkah kau
pernah berpikir—“
“Apa?” kata
sang suami anyaman. Kini dia benar-benar terlihat bingung.
“Lelaki
sepertimu,” kata si pembuat roti. “Bisa mendapatkan semua hal dengan
sendirinya. Banyak kesempatan seperti…” dia membungkuk ke depan, sehingga sang
suami anyaman sedikit terlonjak. Nafas si pembuat roti berbau adonan, yang
menurutnya tidak menyenangkan. “Istri si tukang daging,” tambah si pembuat roti
dengan penuh makna. “Aku tahu dengan nyata kalau suaminya sedang tidak di
rumah. Dia pergi mengunjungi saudara laki-lakinya di kota. Kenapa kau tidak
pergi menemui istrinya?”
“Aku tidak
bisa,” kata sang suami anyaman. “Istriku sedang menungguku di rumah.” Dan
diapun melangkah pergi. Si pembuat roti kembali ke rumah dan merasa kesal.
Sang suami
anyaman masih mempercayai orang-orang di desa, sehingga dia tidak memperingati
istrinya bahwa sebuah hal buruk akan menimpa mereka. Sekitar seminggu kemudian,
sang gadis buruk rupa sedang memetik buah berri ketika istri si penjahit baju
berjalan perlahan ke arahnya. Keranjang milik wanita itu kosong, sehingga
membuat gadis itu curiga padanya.
“Sayangku!”
teriak istri si penjahit baju, sambil mengibarkan tangannya.
“Apa maumu?”
kata sang gadis buruk rupa.
Istri si
penjahit baju mengucurkan air mata palsunya, dan melihat ke arah kiri dan
kanan. “Sayangku,” bisiknya. “Aku disini hanya ingin memperingatimu. Suamimu,
dia terlihat bersama dengan wanita lain.”
“Apa
maksudmu?” Tanya sang gadis buruk rupa.
Istri si
penjahit mengibarkan tangannya. Ini tidak mengarah seperti yang diharapkannya.
“Sayang, kau tidak bisa mempercayai laki-laki. Mereka semua sama saja. Dan kau
tidak bisa berharap bahwa lelaki seperti dia, dan wanita sepertimu bisa—“
Sang gadis
buruk rupa sangat marah sampai akhirnya dia memukul istri si penjahit dengan
keranjangnya dan berlari pergi. Sang gadis buruk rupa pulang ke rumah. Dia
tidak ingin membuat suaminya marah, sehingga dia tidak mengatakan apa-apa.
Istri si
penjahit pulang ke rumah dengan menggerutu, dengan bekas luka-luka goresan di
seluruh wajahnya. Malam itu, para istri dan suami di desa seluruhnya setuju –
untuk kali ini – sesuatu yang drastis harus dilakukan.
Beberapa
minggu kemudian sang pengrajin anyaman mendengar ketukan di pintu rumahnya.
Ketika dia membukanya, para warga berdiri di depan. Dengan aba-aba, istri si
penjahit mulai mengucurkan air mata yang dapat membuat siapapun yang melihatnya
merasa iba.
“Ada masalah
apa?” kata sang pengrajin anyaman.
“Dia tidak
dapat melahirkan bayi,” kata istri si pembuat roti dengan tersedu-sedu.
“Tidak
seorang putrapun,” kata si penjahit dengan menyedihkan.
“Ataupun
seorang anak perempuan.”
“Tidak ada
yang dapat menemani mereka di masa tua,” tambah si tukang daging.
“Hati mereka
telah hancur berkeping-keping,” lanjut si pembuat roti.
“Jadi kami
datang untuk meminta –“
“Jika Anda
mau membuatkan kami seorang bayi dari anyaman.”
Kemudian
mereka menyerahkan sekantong emas kepadanya.
“Baiklah,”
kata sang pengrajin anyaman. “Datanglah sebulan lagi.”
Suatu hari
saat petang di musim gugur, sang gadis buruk rupa sedang duduk di dekat
perapian, ketika ada ketukan di pintu. Sang suami anyaman membukanya. Di luar,
berdiri para warga. Istri si penjahit membawa sebuah bundelan di tangannya, dan
bundelan itu mulai merengek.
“Apa itu?”
kata sang gadis buruk rupa.
“Ini semua
salahmu,” desis si tukang daging, menunjuk sang suami anyaman.
“Lihat apa
yang telah kau lakukan!” teriak si pembuat roti.
“Sungguh
buruk sekali,” seringai penjaga penginapan. “Bahkan bukan manusia!”
Si penjahit
baju menarik selimutnya. Sang gadis buruk rupa melihat bayi itu terbuat dari
anyaman. Bentuk hidungnya sama, dan mata hijau yang sama seperti yang dimiliki
suaminya.
“Katakan
padaku kalau itu tidak benar!” teriaknya.
Tapi sang
suami anyaman tidak mengatakan apapun. Dia hanya menatap bayi itu. Dia tidak
pernah melihat yang sejenis dengannya sebelumnya, dan sekarang – hatinya
dipenuhi dengan kelembutan. Ketika sang gadis buruk rupa melihat hal ini di
wajah suaminya, sebuah awan kepahitan yang besar merundungi dirinya. Dia jatuh
ke lantai dengan mengerang.
“Makhluk
kotor! Tolol!” teriak si penjahit. “Aku seharusnya membakarnya!” dia meraih
bayi itu, dan menghempaskannya di kobaran api. Tepat pada saat itu, sang suami
anyaman berteriak kencang. Diapun melompat.
Sang gadis
buruk rupa mengeluarkan tangisan yang menyedihkan. Dia mengambil lampu minyak
itu, dan menghempaskannya tepat ke arah suaminya. Lampu minyak itu meledak
beserta serpihan kacanya. Minyak tertumpah di mana-mana. Kobaran api itu mulai
menjilat dada sang suami anyaman, naik ke atas lehernya, dan sampai ke
wajahnya. Dia mencoba melawan dalam kobaran api, tapi jari-jarinya menjadi
berminyak, dan semakin mudah terbakar. Dia mencoba membebaskan dirinya,
menjerit, dan terjatuh ke dalam sungai.
“Ini
berhasil,” kata si tukang daging dengan nada puas.
Para warga
bahkan tidak menoleh sedikitpun pada sang gadis buruk rupa, dan segera pulang
ke rumah masing-masing untuk menyantap makan malam mereka. Dalam perjalanan,
istri si penjahit melemparkan bayi anyaman itu di selokan. Dia menginjak tepat
di mukanya. “Ugh,” katanya. “Makhluk yang mengerikan.”
Hari
berikutnya sang gadis buruk rupa keluyuran di jalan raya sambil bercucuran air
mata, dan wajahnya kotor oleh abu.
“Apa kau
melihat suamiku?” tanyanya pada orang yang lewat, tetapi mereka melihat ada
kegilaan di mata gadis itu, dan memacu kuda-kuda mereka. Petangpun menjelang.
Tidak tahu di mana dia berada, sang gadis buruk rupa mendengar sebuah suara di
selokan. Dengan berlutut, dia menemukan bayi anyaman itu. Bayi itu meratap dan
mendera. Sang gadis buruk rupa melihat di wajahnya mata suaminya, dan hidung
suaminya. Dia mendekapkan bayi itu ke dadanya dan membawanya ke rumah.
Sang
pengrajin anyaman tidak tahu-menahu tentang semua ini. Suatu hari, lelaki tua
itu teringat dengan ciptaannya dan ingin melihat bagaimana keadaan mereka. Dia
berjalan ke kota, dan mengetuk pintu si penjahit. Istrinya yang menjawab.
“Bagaimana
keadaan bayinya?” kata lelaki tua itu.
“Oh, itu,”
ujar wanita tersebut. “Dia sudah meninggal.” Diapun langsung menutup pintu
rumahnya. Pengrajin anyaman itu berjalan pergi, sampai dia tiba di tempat sang
gadis buruk rupa. Pintunya tertutup, kebunnya tidak terawat, dan kaca
jendelanya penuh dengan kotoran. Pengrajin anyaman itu mengetuk pintunya. Tidak
ada yang menjawab, tapi dia tetap menunggu lama sekali.
Akhirnya
pengrajin anyaman itupun pulang ke rumah dengan sedih dan kecewa. Dia sedang
berjalan di jalan yang gelap dan panjang ke dalam rawa-rawa ketika dia
mendengar sesuatu tengah kegelapan hutan. Awalnya dia takut. Tapi suara itu
seperti mengikutinya. Dari waktu ke waktu, suara itu berubah menjadi erangan.
“Siapa di
sana?” sahut orang tua itu.
Di luar
jalan kecil itu, dengan berjalan sempoyongan dan berlumuran, tampaklah benda
yang paling menyedihkan dan membuat iba. Pengrajin anyaman itu menatap pada apa
yang tersisa dari sang suami anyaman; tangannya telah dilahap api, mukanya bisa
dikatakan sudah tidak ada. Lubang hitam dari kayu yang hangus merusak dadanya.
Luka-luka bakarnya mulai membusuk.
“Apa yang
telah mereka lakukan pada anak-anakku?” teriak sang pengrajin anyaman.
Sang suami
anyaman tidak mengatakan apapun karena dia telah kehilangan bibirnya.
Pengrajin
anyaman itu membawa sang suami anyaman ke rumah. Saat matahari pagi bersinar, pengrajin
anyaman yang tua itu duduk memperbaikinya. Tapi saat dia bekerja, hatinya
menjadi panas karena amarah.
“Aku telah
menciptakanmu, tapi aku malah mengecewakanmu,” katanya. “Aku tidak akan
mengirimmu ke sana lagi.”
Akhirnya,
sang suami anyaman terlihat bagus seperti baru, walaupun bau gosong tetap
tercium dari dirinya. Tapi saat hari-hari berlalu, sebuah cetakan hitam mulai
tumbuh di dirinya. Pengrajin anyaman itu menarik anyaman yang membusuk dan
menggantinya. Tapi kelihatannya itu sia-sia; sang suami anyaman membusuk dari
dalam dan akhirnya menjalar sampai ke luar.
Pada
akhirnya, pengrajin anyaman itu melihat tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Dia mengambil mantel perjalanannya, pergi saat malam, dan berjalan melewati
desa itu. Dia tiba di rumah sang gadis buruk rupa. Sang gadis rupa sedang
berdiri di tengan taman dengan tubuh yang sangat kotor. Dia sedang memeluk
seorang bayi dan menyanyikannya lagu paling sedih yang pernah didengar oleh
lelaki tua itu. Pengrajin anyaman itu melihat bahwa anak itu adalah ciptaannya,
dan hatinya menjadi sedikit lembut. Dia melangkah keluar dari bayangan.
“Kenapa kau
merawat bayi itu.” Katanya, “Sementara kau mengusir suamimu keluar dari rumah?”
Gadis buruk
rupa itu berteriak karena mendengar seseorang berbicara padanya.
“Bayi ini
adalah hal satu-satunya yang tersisa dari peninggalan suamiku,” katanya.
“Walaupun ini adalah bukti bahwa dia mengkhianatiku, aku tidak bisa membiarkan
bayi ini mati di selokan.”
“Kau gadis
yang bodoh,” kata lelaki tua itu. “Akulah yang membuat anak itu. Suamimu tidak
bersalah.”
Tepat pada
saat itu, gadis buruk rupa langsung menangis dan berlari menuju sungai. Tapi
pengrajin anyaman itu menangkap lengannya. “Tunggu – aku punya sesuatu yang
ingin kuntunjukkan padamu,” katanya.
Gadis buruk
rupa itu berjalan di belakangnya, melewati rawa-rawa di mana air terhisap dan
bergelembung, sambil menggendong bayinya. Saat matahari terbit, dia melihat
semua hal yang ada di wajah bayi itu sama seperti milik si pengrajin anyaman,
yang seperti pencipta manapun, pasti telah menurunkan wajahnya ke ciptaannya.
Ketika
mereka tiba di tempat tinggal lelaki tua itu, gadis buruk rupa segera membuka
pintu dan melihat suaminya sedang duduk dalam kegelapan.
“Tidak
mungkin itu kau,” kata gadis itu. “Kau telah mati. Aku tahu. Aku sendirilah
yang membunuhmu.”
“Aku hanya
diciptakan untukmu seorang,” kata sang suami anyaman, “Tapi kau
mencampakkanku.”
Gadis buruk
rupa itu menangis sekencang-kencangnya, burung-burung beterbangan keluar di
kejauhan sana, dan dia segera menghempaskan dirinya ke kaki suaminya.
Beberapa
hari kemudian, para warga terkejut melihat pengrajin anyaman itu sedang berdiri
di luar gereja.
“Aku punya
sesuatu yang ingin kukatakan,” sahutnya. “Sebentar lagi aku akan pensiun. Tapi
pertama-tama, aku akan membuat maha karyaku – seorang wanita yang terbuat dari
anyaman. Jika kalian menginginkannya, kalian bisa mendapatkannya. Tapi kalian
harus membawakan hadiah sebagai imbalannya. Siapapun yang membawakanku hadiah
terbaik, dapat memiliki sang wanita anyaman.”
Kemudian dia
berbalik dan pulang kembali ke rumahnya.
Di
belakangnya, para warga mulai berbisik-bisik. Bukankah sang suami anyaman itu
tinggi dan anggun? Bukankah dia seorang pekerja keras? Bukankah dia tampan, dan
berhasrat untuk menyenangkan istrinya?
Hari
berikutnya, seluruh warga desa tidak mengaku bahwa mereka tertarik dengan
wanita anyaman, namun secara diam-diam mereka mulai menyusun rencana
masing-masing. Para lelaki mengincar untuk memberi hadiah berupa sapi; para
wanita secara diam-diam membuka kotak-kotak perhiasan.
“Sang suami
anyaman bekerja seperti budak, dan tidak pernah makan,” kata istri pengrajin
sepatu kepada suaminya. “Berikan aku wanita anyaman itu sebagai pembantu, aku
akan hidup seperti nyonya besar dan tidak akan lagi bergerak sejaripun.”
“Suami
anyaman itu tidak pernah bertengkar dengan siapapun, bahkan tidak pernah
menaikkan suaranya. Tidak seperti kau, dasar kau istri cerewet,” kata penjaga
penginapan kepada istrinya.
“Suami
anyaman tidak pernah capek, dan tidak pernah sakit kepala,” kata tukang daging
kepada pembuat roti. “Bayangkan…!”
“Pinjami aku
uang, sepupu,” kata istri pengrajin sepatu. “Aku perlu rok dalam yang baru.”
“Tidak
bisa,” kata istri pandai besi dengan berbohong. “Aku sudah menghabiskan uangku
untuk membeli obat. Anakku sedang sakit keras.”
“Aku perlu
uang sewa yang kau hutangi kepadaku,” kata tukang daging, yang juga pemilik
rumah penjahit baju.
“Sekarang
sedang musim yang buruk dalam usaha menjahit,” kata sang penjahit dengan
komat-kamit. “Kau akan segera mendapatkan uangmu nanti.”
Pemotong
daging itupun pergi ke kota, mempekerjakan seorang pengacara, dan membuat
tukang jahit itu pergi dari rumahnya. Tukang jahit dan istrinya itu harus pergi
dan tinggal di gudang si pengrajin sepatu.
“Tapi apa
yang akan kau lakukan dengan rumah kosong?” tanya istri tukang daging.
“Tidak ada,”
kata pemotong daging yang berpikir bahwa rumah kosongnya nanti sangat tepat
untuk di tempati seorang wanita simpanan. Istri pemotong daging dan istri
tukang jahit bertengkar di pasar, dan pulang ke rumah dengan mata hitam di
sekelilingnya. Di kedai minum, tidak ada yang berbicara, tapi hanya saling
menatap dengan curiga. Pengacara itu masih berada di kota. Rumor menyebutkan
bahwa istri tukang jahit sedang menuntut suaminya untuk bercerai; istri penjaga
penginapan membuat suaminya ditangkap polisi setelah dia menemukan bahwa
tangganya telah dilumasi dengan minyak. Singkatnya, rumput di kebun tidak
dipotong, sapi-sapi tidak memproduksi susu, pemanggang tidak bersih; seluruh
warga desa sudah terobsesi.
Ketika tiba
saatnya, pengrajin anyaman itu tiba di kota dan duduk di dinding halaman
gereja. Para warga membawa hadiah-hadiah mereka. Pertama si tukang jahit, yang
telah membuat sebuah mantel mewah. Selanjutnya tukang giling, dia membawa dua
belas karung padi. Pembuat roti membuat kue yang paling mewah. Tukang kayu
membawakan sebuah meja dan beberapa kursi. Tukang pedati membawa seekor kuda
yang kuat. Istri pandai besi sempoyongan membawa sebuah keju yang seukuran
dengan sebuah roda di tempat penggilingan. Sepupunya, istri si tukang jahit,
tiba dengan sekantong emas.
“Darimana
kau mendapatkannya, istriku?” tanya suaminya dengan terkejut.
“Kau tidak
usah perduli,” gertaknya.
Istri
penjaga penginapan tidak hadir di sana; dia telah terpeleset ketika sedang
menaiki tangga.
Terakhir,
datanglah si tukang daging. Dia benar-benar telah mengalahkan yang lainnya; dua
lembu jantan, empat sapi, dan dua belas domba.
Pengrajin
anyaman itu melihat sekelilingnya. “Well,” katanya. “Kurasa pemenangnya adalah…
sang tukang daging. Aku akan mengambil semua ini dan kembali dengan wanita
anyaman.”
Tukang
potong daging itu sangat senang, sampai air liur keluar dari mulutnya.
“Bisakah aku
mengambil kembali padiku?” kata si tukang giling.
“Tidak,
tidak,” kata orang tua itu. “Bukan begitu persetujuannya.” Dan dia mulai
mengangkut semua barang-barang itu ke kuda-kudanya. Para warga mungkin sudah
saling menyerang satu sama lainnya, tapi mereka sangat nekat ingin melihat sang
wanita anyaman itu, sehingga mereka hanya berdiri di sana, dan menunggu dengan
sabar.
Saat petang,
pengrajin anyaman kembali. Sang wanita anyaman didudukkan di kuda, dibungkus
dengan mantel, diberi kerudung layaknya seorang pengantin wanita. Dari bawah
mantelnya, bunga berwarna putih jatuh. Saat dia melintasi para warga, tercium
sebuah wewangian yang paling mengagumkan.
Tukang
daging itu berdiri di depan rumah yang dulunya ditempati oleh tukang jahit. Dia
telah mengunci istrinya di gudang bawah tanah yang digunakan untuk menyimpan
batu bara.
Pengrajin
anyaman itu mengulurkan tangannya, dan menolong wanita anyaman itu untuk turun.
Tukang daging itu mencium parfumnya. Dari bawah kerudungnya, dia pikir dia
melihat wanita itu memberikannya tatapan yang indah. Dia sangat senang, dia
melompat dari kaki ke kaki.
Wanita
anyaman itu mengangkat kerudungnya dan melepaskan mantelnya. Tukang daging itu
menatap tajam ke arahnya. Wanita anyaman itu terlihat tinggi dan berbadan
bengkok, wajahnya hitam dan kasar. Tapi yang lebih buruk dari itu adalah – dari
kepala hingga ke kaki, dia dipenuhi oleh duri-duri.
“Apa yang
telah kau lakukan?” jerit si tukang daging.
“Ah,” kata pengrajin anyaman itu. “Sang suami anyaman
terbuat dari pohon willow. Willow adalah pohon yang paling bagus; tinggi,
elegan, dan lunak, sangat membantu dalam meredakan rasa sakit. Tapi kulihat kau
tidak menyukainya. Oleh karena itu aku membuatkanmu wanita anyaman dari pohon blackthorn.Blackthorn itu
dingin, keras, dan berduri –tidak akan bisa dibunuh, tidak dengan api ataupun membekukannya.”
Para warga
mungkin sudah menyerang pengrajin anyaman itu di sana-sini kalau wanita anyaman
itu tidak melangkah maju. Dia meraih si tukang daging dan berhasil menciumnya.
Ang tukang daging berteriak dan menangis. Ketika dia menarik bibirnya, bibirnya
telah berderai dan sobek-sobek; darah mengucur turun ke dagunya. Kemudian,
dengan sebuah hentakan keras, istri tukang daging itu keluar dari gudang
penyimpanan, dan berlari ke jalan. Melihat wanita anyaman itu mencium suaminya,
dia berteriak, dan menyerangnya. Mereka berdua bergulung di selokan, berteriak
dan saling mencakar.
Kemudian
sang pengrajin anyaman melepaskan samarannya. Ternyata dia adalah si pengacara.
“Seharusnya kalian mengecek detailnya terlebih dahulu,” ujarnya. “Itu sangat
penting. Kalian seharusnya mengecek kata-kata yang dicetak kecil.”
Para
laki-laki di desa mengambil pisau si tukang daging, garpu rumput, dan gunting
jahit, lalu mengejar pengacara itu sampai ke luar kota. Ketika mereka telah
kehabisan napas, mereka berhenti.
“Dasar
pengrajin anyaman palsu itu,” kata tukang roti. “Dia menjebak kita.”
Akhirnya
mereka berbalik dan mulai kembali ke arah yang lain, ke jalan menuju rawa-rawa.
Dalam kegelapan, mereka tersandung dan terluka, kehilangan arah dan hampir
tenggelam. Hari mulai terang ketika mereka tiba di tempat sang pengrajin
anyaman, tapi dia, sang suami anyaman, sang gadis buruk rupa dan bayinya, juga
barang-barang milik warga desa, sudah tidak ada dan lenyap.
[selesai]
Comments
Post a Comment