Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian
Pada Suatu
Hari, Ada Ibu dan Radian
Cerpen Pilihan kompas
Karya Avianti Armand
Langit jadi
merah. Seekor naga menukik, menyapu bintang-bintang dan matahari. Pucuk-pucuk
sayapnya memercik bara. Api bertebaran. Angin berputing. Ketakutan disemprotkan
ke udara seperti tinta gurita. Para satria berbaju zirah itu bergelimpangan.
Jerit putus asa menyesaki ruang. Makhluk itu marah luar biasa. Rumah-rumah,
pohon-pohon, pucuk gunung di kejauhan, jadi remuk tak jelas bentuk. Rata tanah.
Semua. Kecuali satu anak yang berdiri tegak tak bergerak. Tangannya menggenggam
busur yang selesai teregang. Wajahnya segelap batu, namun matanya seterang
kilat. Dari busurnyalah panah besar yang menghunjam di dada sang naga.
Naga itu
pasti akan mati, Ibu, bisiknya. Lalu matanya terpejam. Mungkin tertidur. Atau
mencoba tidur. Gambar di atas kertas besar itu kini didekap di dadanya. Gambar
yang sesak dengan coretan dan garis tebal patah-patah yang diguratkan penuh
emosi. Gambar yang cuma punya tiga warna: merah, hitam, dan kelabu.
Aku
melayang. Mungkin tertidur. Tanpa mimpi, hanya gelap–dan terbangun karena
kesunyian, sangat aneh untuk subuh yang biasanya riuh. Tak ada azan. Tak ada
kokok ayam atau saling sahut teriakan penjual sayur dan radio tukang susu.
Tempat Radian kosong, tapi masih hangat. Ia belum lama bangun. Aku tertatih
keluar kamar dan mendapati anak itu di depan pintu kamar mandi yang separuh
terbuka. Ia berdiri, terlalu kaku. Seperti sebuah gerakan yang tertahan di
udara. Sinar yang sayu menyapu wajah kecilnya.
Rasa dingin
tiba-tiba merayapi punggungku. Wajah itu terlalu putih, bahkan untuk pagi yang
masih biru. Aku segera mendekat. Dan di sana, di balik pintu yang separuh
terbuka, tubuh suamiku tergeletak. Sebilah pisau menancap di dada. Darah
membual dari lukanya. Lantai yang putih kini berkubang merah. Duniaku seketika
hitam.
Binatang itu
pernah hidup. Sekarang pun terlihat masih sangat hidup. Hanya jika disentuh,
terasa kalau dagingnya dingin. Matinya hamster itu mengakibatkan kehebohan di
kelas. Radian membunuhnya. Di hadapan teman-temannya yang menjerit-jerit
ketakutan, dia mencekik binatang itu hingga kehabisan napas. Anak itu kini
tergugu, menolak untuk duduk. Punggungnya menempel ke dinding di sudut ruang
guru. Cuma ada kami bertiga: Bu Tina–kepala sekolah—aku, dan Radian. Pelan ia
mendekat, memelukku, lalu kembali berdiri dengan punggung menempel ke dinding.
Ia kelihatan lebih tenang–tidak takut, cuma sedih.
Kami
menatapnya, Bu Tina dan aku, lalu kembali ke bangkai hamster di atas meja. Jika
nasib berkata lain, pagi ini aku yang tergeletak mati. Masih terasa tangan
suamiku mencengkeram leherku kuat-kuat. Seperti hamster itu, aku meronta.
Melawan. Tapi lelaki itu lebih kuat. Aku bisa mencium kemarahan lewat napasnya
yang berbau alkohol. Kematian menjalari tulang belakangku pelan-pelan. Leherku
bergemeletuk. Kepalaku nyaris pecah. Saat kesadaran hampir hilang, tiba-tiba ia
mencampakkanku–teronggok di lantai, menggapai-gapai udara yang tak sudi
kembali. Dia pergi begitu saja. Dan ketika mataku pulih, hatiku terpuruk.
Radian menatap dari sudut yang gelap, tanpa suara. Wajah itu pekat dengan rasa
takut. Air mata deras menggambari pipinya. Aku menatapnya lagi. Mungkin ia cuma
ingin tahu, apa jadinya jika dicekik kuat-kuat. Hamster itu telah menjelaskan,
betapa kematian pernah begitu dekat merengkuh ibunya.
Malam itu
kami tidur bersisian, tidak berpelukan. Kedekatan ini selalu cukup, tidak
pernah berlebih. Bohlam 25 watt itu redup, tapi masih cukup untuk membaca
gambar yang dibuat Radian sebelum berbaring.
Sebuah pohon
besar. Sebuah rumah besar. Semuanya hitam. Seorang lelaki berbaju hitam
tergantung-gantung di pohon itu. Seutas tali besar melilit lehernya. Kepalanya
terkulai. Terlalu miring, seolah patah. Ada dua paku hitam besar menancap pada
tempat yang seharusnya berisi mata. Waktu kutanya siapa dia, Radian hanya
bilang: Penjahat. Seorang anak lelaki berdiri di bawahnya, menggendong kantong
raksasa. Popcorn, katanya, menunjuk pada gumpalan-gumpalan kecil serupa kapas
yang membual dari kantong itu. Dihujani daun-daun yang meluruh, anak itu
menyaksikan tubuh lelaki tadi bergoyang-goyang tertiup angin. Pipinya
menggembung, mungkin ia sedang mengunyah popcornnya dengan asyik. Sinar lampu
menembus kertas yang dipegang Radian, membentuk lingkaran cahaya di kepala anak
lelaki dalam gambar, juga di kepala anak lelakiku. Ia tersenyum, tapi matanya
tidak.
Malam terasa
berat, tapi sinar bulan cukup untuk meremangkan ruang. Perempuan dalam cermin
itu diam, meski tahun-tahun yang tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur.
Aku tidak mengenalinya. Wajah itu bukan wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu
terlalu kering untukku. Ia sembab dan biru. Mungkin lelah. Atau putus asa. Tapi
jelas ia marah. Kemarahan membayang seperti sayap-sayap hitam seekor gagak,
menyambar dan mencakar-cakar wajah itu, meninggalkan kerut-kerut yang dalam.
Sebuah
tangan kecil menyentuh punggungnya. Perempuan dalam cermin mencoba tersenyum.
Ia berbisik lembut, kamu lapar? Anak lelaki itu mengangguk. Mereka bergandengan
menuju dapur. Ia membuka lemari pendingin, menerawang sejenak, lalu mulai
mengeluarkan isinya satu per satu: telur, jamur, tahu, sosis, daging, bawang,
keju, cabai, selada, spageti, susu cair, …. Ia meletakkan semuanya dengan rapi
di atas meja. Tanpa bicara ia mengambil panci, mengisinya dengan air,
meletakkannya di atas kompor, lalu menyalakan api besar-besar. Tanpa bicara ia
memecahkan telur, memasukkan isinya–juga kulitnya–ke dalam panci. Ia mematahkan
tongkat-tongkat kecil spageti, dan memasukkannya ke dalam panci. Ia membuka
kotak susu, dan menuang seluruh isinya ke dalam panci. Ia mengambil pisau 25
sentimeter, lalu merajang bawang jadi potongan-potongan kecil, selada jadi
cacahan-cacahan kecil, sosis jadi patahan-patahan kecil. Uap air mulai memenuhi
dapur. Ia memangkas jamur, tahu, daging, cabai. Semakin lama semakin cepat.
Keringat menetes berbulir-bulir dari dahinya. Air menetes berbulir-bulir dari
matanya. Tak lama, semua tercampur aduk. Tak bersisa satu pun yang bisa
dipotong lagi. Tak bersisa satu pun yang masih bisa dikenali.
Perempuan
itu berhenti. Tersengal-sengal. Tersengguk-sengguk. Ia memandangi pisau di
tangannya. Ia memandangi anak lelaki yang berdiri diam di sebelahnya. Anak itu
beringsut, menjumput campuran cacahan di atas meja, dan memakannya pelan.
Matanya tak lepas menatapi ibunya. Mata yang pilu.
Pisau itu
jatuh terlepas dari genggaman. Perempuan itu jatuh terduduk di lantai dapur.
Tenaga telah dikuras keluar. Habis. Air mata telah dikuras keluar. Habis. Kini
ia terlongong kosong. Anak lelaki itu mendekat, lalu duduk merapat padanya. Ia
menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu. Ibu, bisiknya.
Kalau kita
mati, kita pergi ke mana? Aku mengangkat bahu. Tak tahu. Radian kembali
menekuri gambarnya. Apakah kamu mencintai ayah? Aku mengangkat bahu lagi. Tak
tahu. Yang kutahu, aku mencintaimu. Radian tersenyum tanpa mengangkat kepala.
Apakah aku mencintainya? Aku tidak ingat.
Yang aku
ingat, kami sepasang anak muda yang senang. Aku senang. Dia senang. Kami senang
dengan kehadiran satu sama lain. Dengan senang, kami pergi ke sebuah pulau di
mana langit dan laut beradu biru. Dengan senang kami saling menjelajahi tubuh
di pantai itu. Aku tak tahu mengapa kami melakukannya–bersetubuh di pantai,
yang cuma membuat kami lekat dengan bau laut, dan bau dosa–yang tak bisa hilang
begitu saja.
Dia tidak
pernah bilang cinta padaku. Aku tak pernah bilang cinta padanya. Tapi aku
mengandung benihnya. Kami harus menikah bagaimanapun juga. Orangtuanya ingin
menyelamatkan muka. Orangtuaku ingin menyelamatkan muka. Aku ingin lari. Dia
ingin lari. Orangtua kami melarang kami berpisah. Tuhan melarang kami berpisah.
Tapi kenapa Tuhan tidak melarangnya memukuliku kapan saja dia mau? Satu kali
aku melawan. Kutinju hidungnya hingga berdarah. Tapi binatang itu menyakiti
anakku. Aku lari dari rumah. Sebuah serangan jantung melumpuhkan ayahku. Dan
mengembalikanku ke suamiku. Tuhan rupanya menghendakiku bertahan. Ini tubuhku,
ini darahku, makan dan minumlah. Aku domba korban, entah untuk apa. Apakah aku
mencintainya?
Senja
menjatuhkan sinar ke atas meja. Radian telah selesai menggambar. Ia membalik
kertasnya dan menunjukkannya padaku.
Sebuah pulau
kecil di tengah lautan dan sebuah perahu kecil yang meninggalkan pulau itu. Ada
dua orang di dalamnya: perempuan dan anak lelakinya. Mereka tersenyum. Ada satu
rumah di atas pulau, berbentuk kotak dengan jendela-jendela kotak. Di baliknya,
ada seseorang dengan tangan terentang ke atas. Di atas rumah itu beterbangan
burung-burung hitam. Dua belas jumlahnya. Rumah itu diliputi lidah-lidah merah.
Terbakar, kata Radian. Orang itu jelas terkurung. Ia berteriak dalam gelembung
kecil dan tanda seru yang banyak: tolong!!!! Kalau dia mati, burung-burung itu
akan membawanya pergi, katanya. Kenapa dia ditinggal, tanyaku. Karena dia
jahat, jawabnya.
Aku seperti
hidup dalam sinetron bertokohkan perempuan yang menangis mengiba-iba karena
disiksa tak berkeputusan. Bedanya, perempuan yang ini tak menangis.
Awalnya
sederhana. Sebuah pesta barbeque. Langit hijau. Kupu-kupu sebesar payung
terbang melayang-layang. Rumput jingga. Rumah besar di atas awan. Gadis-gadis
dengan sayap di punggung dan bunga di kepala. Anak-anak lelaki bertanduk
warna-warni, berkerumun di sekeliling pemanggang. Ada yang memegang piring, ada
yang memegang garpu, juga gelas berisi limun ungu. Semua biasa saja, kecuali barbeque
itu. Empat bola mata. Potongan daun telinga dan tiga buah hidung. Telapak kaki
dan tangan, lengkap dengan jari-jarinya. Segumpal besar daging merah dengan
tanda panah mengarah padanya: jantung. Lalu, sepenggal kepala binatang dengan
mata masih membelalak dan lidah terjulur keluar. Radian bilang, itu kepala
naga.
Perempuan
itu menunjukkan gambar tadi pada suaminya saat makan malam. Kepala sekolah
menunjukkan gambar itu padanya tadi pagi. Gambar Radian. Lelaki itu tak berkata
sepatah pun. Ia hanya menggebrak meja, mengambil piring, dan melemparkannya.
Tepat ke muka. Ia tercekat. Rasa sakit nyaris meledakkan kepala. Ia menelannya.
Kemarahan menyergap seketika. Ia menelannya. Suara piring yang pecah memekakkan
telinga. Anak lelakinya keluar dari kamar dan terdiam di pintu, tidak lagi
heran ketika ayahnya pergi.
Jendela kaca
memantulkan gambar-gambar suram itu. Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu
masuk ke dalam kamar dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret
kursi untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
Aku berdiri
dalam sudut gelap, menyirami kebencian dengan kemarahan. Aku bisa merasakan
benihnya mengakar. Cabang-cabangnya yang kuat mencari jalan keluar lewat tiap
pembuluh darah. Semakin kuat. Tidak, aku tak sanggup menelannya.
Aku tidak
lapar, Ibu. Anak lelaki itu ketakutan. Tapi perempuan itu tetap berjalan ke
dapur. Ia tidak membuka lemari pendingin, tidak meletakkan panci di atas api.
Ia cuma mengambil pisau dan berdiri di depan meja. Begitu saja. Lama sekali.
Matanya menatap ke depan. Kosong. Kemudian tangannya mulai bergerak, dengan
gerakan memotong-motong sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang mungkin hanya
ada di kepalanya. Pelan awalnya. Lalu makin cepat. Keringat turun
berbulir-bulir dari dahinya. Air turun berbulir-bulir dari matanya. Anak lelaki
itu tak berani mendekat. Ia cuma menatap punggung ibunya yang berguncang keras.
Sesuatu dari dalam telah merusak perempuan itu, sedikit demi sedikit. Ia tak
mengenalinya lagi. Aku tak mengenalinya lagi.
Siang itu,
kami berbaring bersisian di lantai, di depan kamar mandi yang kini berkubang
merah, melingkupi tubuh lelaki itu yang pernah hidup. Matahari kuning
membanjiri. Terang. Terlalu benderang untuk melihat gambar yang dibuat Radian,
dalam menit-menit–entah berapa lama–aku berdiam dalam gelap. Aku menatap
matanya, tapi ia menghindar. Direntangkannya gambarnya di depan wajahku. Aku
memicing.
Hujan.
Perempuan dan anak lelaki itu berjalan bergandengan. Mata mereka berkilau.
Bibir mereka tersenyum di wajah yang abu-abu. Tak ada matahari. Hanya awan
hitam yang bergumpal-gumpal. Satu yang paling besar melayang rendah di atas
anak lelaki itu. Di bahunya bertengger seekor burung. Sayapnya terentang, siap
terbang. Perempuan itu menggenggam sebilah pisau. Besar. Ujungnya tertutup
sesuatu yang menetes merah. Mereka bergandengan di jalan yang berasal dari satu
titik hilang yang membesar ke ujung bawah kertas. Di kiri-kanannya, deretan
pohon raksasa merunduk ke tengah, menyusun kanopi yang meneduhi jalan dan
membuatnya kian kelam. Ada burung-burung hitam bertengger di cabang-cabangnya.
Gagak, kata Radian. Di batas paling bawah dari kertas, tertulis dengan
huruf-huruf besar yang mencang-mencong :
PADA SUATU
HARI, ADA IBU DAN RADIAN.
Cuma kita
berdua, Ibu.
Jakarta 13
November 2007
Comments
Post a Comment