Tante Mer

TANTE MER
Dimuat di Majalah GADIS edisi No. 29, tgl 28 Okt - 6 Nov 2014.
Oleh: Utami Panca Dewi

            Ada yang berubah dengan Mama. Pulang kerja, Mama jadi sering mampir ke kafe. Secangkir white coffe selalu menjadi alasan keterlambatan Mama pulang ke rumah. Sebetulnya Mbok Mi juga bisa kalau cuma membikin secangkir white cofffe. Tetapi Mama selalu memberikan alasan sambil tersenyum.
“Memang Mbok Mi bisa Ra. Tapi minum segelas kopi di sebuah kafe itu sensasinya lain. Ntar deh, kapan-kapan Mama ajak kamu ya!” Begitu selalu kata Mama.
Tetapi kapan-kapan itu tak pernah diwujudkan Mama. Zura tidak pernah ditawari Mama untuk ngopi bareng di kafe. Bagaimana Mama mau menawari? Sepulang dari kantor, Mama selalu langsung mampir ke kafe. Biasanya bersama teman-temannya. Dan Zura harus rela menunggu kepulangan Mama yang sekarang sering terlambat.
Yang lebih mencolok lagi adalah penampilan Mama. Dandanan Mama jadi berubah. Blazer Mama yang biasanya berwarna hitam dan abu-abu, kini sedikit menjadi lebih berwarna. Zura sampai terbengong-bengong menyaksikan perubahan Mama itu. Sementara Mama hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Zura.
“Memangnya kenapa dengan penampilan Mamamu?” tanya Inge. Tangan Inge mempermainkan bola bakso yang masih tersisa satu di mangkuknya.
“Lebih ngejreng, gitu lho Nge,” keluh Zura kepada Inge.
“Mungkin Mamamu pindah divisi kali, sehingga beliau harus tampil lebih fresh,” hibur Inge.
Zura menggeleng pelan. Seingatnya, Mama selalu mengadakan syukuran kecil-kecilan dan memberitahunya, kalau akan promosi jabatan atau pindah divisi.
Mbok Mi yang biasanya menjadi tempat Mama untuk bercerita, kali ini ternyata tak tahu apa-apa. Mbok Mi hanya menggeleng pelan saat dicecar pertanyaan oleh Zura.
Ndak Non, Ibu ndak pernah cerita apa-apa soal pekerjaannya kepada Mbok,” ucap Mbok Mi dengan logat Jawa-nya yang medok.
Sampai suatu ketika, ada seorang tante-tante seumuran Mama yang dibawa Mama ke rumah. Namanya Tante Mer. Zura tidak suka dengan lipstik Tante Mer yang terlalu tebal dan merah. Juga pakaian Tante Mer yang... Ih, seperti anak ABG saja. Tank topmerah muda dengan bawahan rok berpotongan asimetris. Dilengkapi dengan sepatu bot yang sering Zura lihat dipakai oleh kakak-kakak mahasiswi yang sedang window shopingdi mall.
“Tante mau ajak Mamamu ke karaoke. Zura nggak apa-apa kan?” tanya Tante Mer sambil tersenyum.
Hello... Ini malam Minggu, Tante. Seharusnya Mama itu bersama aku. Dimana-mana juga akhir pekan itu family time!! Jerit Zura dalam hati. Namun tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Zura. Ia bergeming sambil menatap Tante Mer, seperti tatapan seorang kasir kepada pembeli yang lupa membawa dompet.
“Mama tidak lama kok Sayang. Lagi pula katanya kamu mau pergi bersama Inge?” Mama keluar sambil pamitan kepada Zura. Tapi, ya ampun Si Mama. Kenapa ikut-ikutan memakai sepatu bot seperti Tante Mer? Mana rambutnya diurai lagi. Bajunya lebih tertutup sih, jadi Zura bisa sedikit bernapas lega.
Zura mengantar kepergian Mama dan Tante Mer sampai ke pintu. Setelah mobil sedan hitam itu benar-benar hilang dari pandangan, Zura segera memencet ponsel yang dari tadi sudah ada dalam genggamannya.
“Hallo Nge... Cepetan ke sini ya. Mama sudah berangkat!”
Kepada Mbok Mi, Zura berpamitan hendak mengerjakan tugas ke rumah Inge. Mengerjakan tugas di malam Minggu? Zura tersenyum kecil. Mbok Mi tidak pernah mempersoalkan alasan kepergiannya sampai sedetail itu.
Malam itu Inge melajukan motornya lebih cepat dari biasanya. Zura yang ada di boncengan belakang kadang-kadang berteriak, campuran antara ngeri dan khawatir. Namun Inge berlagak seperti pembalap formula one yang sangat mahir. Selip kiri, selip kanan, lalu kaki kanannya menginjak rem dengan tiba-tiba. Ciiiit... Seorang anak kecil yang menyeberang mukanya pucat pasi, karena hampir saja tersenggol bagian depan motor.
“Oww... hati-hati Nge,” jerit Zura. Inge membuka kaca helm-nya, tersenyum manis sambil mengacungkan jempolnya. Zura sebal. Kalau bukan karena ingin mengikuti Mama dan Tante Mer, ia akan menolak membonceng Inge yang suka geradak-geruduk kalau naik motor.
Rumah karaoke itu bernuansa etnik romantic.Ada lampu-lampu hias di sepanjang selasar dan terasnya. Batang pohon di depan kafe diselubungi dengan kain kotak-kotak hitam putih. Ada dua payung besar di kanan kiri pintu masuk. Juga patung-patung khas Bali. Namun semua itu tak terlalu menarik perhatian Inge. Dari gerbang kafe, dilihatnya sosok Mama dan Tante Mer keluar dari pintu mobil. Beramah tamah sebentar dengan seorang laki-laki yang memakai stelan jas hitam, kemudian mereka bertiga masuk.
“Pulang, Nge!” perintah Zura.
“Ha? Apa Ra, pulang? Katanya mau menunggu sampai Mamamu selesai?”
“Iya, kita pulang sekarang!”Ada nada getir dalam suara Zura.
Matanya memanas saat menahan bulir air yang mulai menggelayut di kantung matanya. Bibirnya terkatup rapat-rapat.
Inge yang tidak mengerti terhadap perubahan sikap sahabatnya itu, hanya bisa menurut. Juga ketika Zura meminta berhenti di atas jembatan fly over. Inge masih juga terbengong-bengong saat Zura menangis di atas pundaknya.
“Ra, sudahlah. Mamamu masih muda, beliau juga membutuhkan hiburan seperti kita!”
“Tapi tidak juga harus seperti itu kan Nge? Berdandan seperti Embak-embak, masuk ke karaoke pula?” Zura menyeka ingusnya dengan tisu yang diberikan oleh Inge.
“Nah, yang ingin aku tahu. Tante Mer itu sebetulnya siapa sih?” Inge memasang muka bodoh.
“Tante Mer itu, sahabatnya Mama waktu kuliah. Sejak Tante Mer pindah ke apartemen Grand Resident, Mama jadi akrab lagi, dan sering hang out bareng.” Zura sudah bisa menguasai emosinya. Apartemen itu memang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya butuh 20 menit perjalanan.
“Lalu apa salahnya Ra, kalau sahabat semasa kuliah menjalin persahabatannya kembali?” Inge semakin tak mengerti.
“Tante Mer itu janda Nge, janda cerai!” Zura memberi tekanan pada kata-kata “janda cerai” itu. Mamanya juga janda, tetapi kan Mama menjadi janda karena Papa meninggal dunia. Jadi...
“Nah, Mamamu juga janda kan? Jadi jangan salahkan kalau mereka cocok. Ups... sorry, bukan maksudku,” Inge menutup mulutnya, seolah menyesali kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya.
“Justru itu Nge. Apa yang dilakukan dua orang janda, masuk ke karaoke di malam Minggu seperti ini coba?” Zura mulai emosi lagi. Suasana menjadi hening. Yang bisa dilakukan Inge hanyalah memeluk tubuh sahabatnya itu sambil memberikan kata-kata pamungkas untuk orang yang sedang ditimpa masalah.
“Yang sabar ya Ra.”
Zura kembali duduk di belakang Inge, ketika gadis itu mulai menyalakan mesin motornya. Terlalu lama di atas jembatan fly over juga sangat berbahaya. Apalagi untuk dua gadis seusia mereka.
@@
“Zura nggak mau tahu. Pokoknya Mama harus menjauhi Tante Mer!” pekik Zura penuh emosi.
“Kamu ini kenapa sih Ra? Memangnya hanya anak seusiamu yang butuh seorang sahabat? Kamu mau Mama suruh menjauhi Inge?” tanya Mama. Mama masih sibuk mengoleskan lipstik di bibirnya yang tipis.
“Tapi Tante Mer beda, Ma!”
“Bedanya apa?” Mama mulai menengok ke arah anak gadisnya.
“Terus terang Zura nggak suka dandanan Tante Mer.”
“Ya haknya Tante Mer dong Nak, mau berdandan seperti apa.”
“Tapi Tante Mer janda Ma, janda cerai! Ngapain coba Mama dan Tante Mer ke kafe, ke karaoke, pulang malam, kalau tidak...”
“Zura!!!” Tangan Mama yang terangkat terlihat gemetar. Hening beberapa detik itu telah memaksa mata Zura kembali memanas. Mama sudah tidak menyayanginya lagi. Oh...God.
“Tahu apa kamu tentang dunia orang dewasa, gadis kecil?” tanya Mama setelah berhasil menguasai emosinya. Kini tangannya yang tadi terangkat telah diturunkannya untuk memegang pundak Zura.
“Zura tahu banyak Ma. Tante Zura dan Mama ke karaoke tidak sendirian. Ada seseorang yang menunggu.”
“Mama pergi dulu,” pamit Mama tanpa sedikit pun peduli dengan kata-kata Zura.
“Dengan Tante Mer lagi kan? Zura benci Tante Mer Ma. Zura benci!”
@@
Rumah sepi. Tadi Mama menelepon, bahwa mendadak ada rapat dewan direksi di kantor. Tiba-tiba ada yang memencet bel rumah. Zura mengintip dari balik gorden. Tante Mer. Suatu kebetulan yang sudah lama diharapkan oleh Zura. Tante Mer datang ke rumah saat mamanya masih di kantor.
“Mama ada Cantik?” sapa Tante Mer sok manis.
“Mama masih di kantor Tante.”
“Oh ya? Boleh aku menunggu di sini?”
“Maaf Tante, sebaiknya Tante pulang dan jangan datang-datang lagi ke rumah ini.”
“Maksudmu?” Dahi Tante Mer berkerut.
“Mama jadi berubah semenjak dekat dengan Tante.”
“Jadi?”
Please Tante, Mamaku perempuan baik-baik.”
Kata-kata yang pendek itu mampu membuat wajah Tante Mer berubah. Ada kilat kesedihan ketika kemudian ia berpamitan. Zura sempat melihat Tante Mer membuka tas kecil yang terselempang di pundaknya. Oi... rupanya Tante Mer mengambil tisu untuk menghapus air matanya. Penuh sandiwara seperti sinetron, pikir Zura.
@@
            “Jadi...”
            “Aku mengusirnya.”
            Inge menatap sahabatnya seolah tak percaya. Zura yang selama ini dikenalnya sebagai gadis yang santun.
            “Mamamu tahu?”
            Zura menggeleng. Mama tak perlu tahu. Yang jelas, Zura sudah merasa melakukan hal yang benar. Meski Zura merasakan seperti ada duri di sudut hatinya.Duri yang sesekali menggores pelan, menimbulkan sedikit ngilu. Terutama saat ia mengingat perubahan wajah Tante Mer sore itu. Bagaimanapun juga Tante Mer adalah sahabat Mama. Kalau misalnya ia sendiri disuruh Mama untuk menjauhi Inge, pasti ia akan melakukan protes keras.
            Sekarang Zura sedikit lebih lega. Belakangan Mama lebih sering di rumah. Tak terdengar lagi suara Mama menjawab telepon dari Tante Mer. Atau tersenyum-senyum sendiri sambil memencet-mencet ponsel, saat menjawab pesan pendek dari Tante Mer.
            “Pulang Ra?” ajak Inge.
            Zura mengangguk. Matahari sudah semakin merapat ke arah barat. Semburat keemasannya berusaha menyusup di sela-sela pohon flamboyan, menimbulkan garis-garis cahaya yang memukau. Zura harus segera pulang, karena sekarang Mama pasti sudah menunggunya di rumah.
@@
            Mama kembali lagi bertingkah normal. Memakai kembali blazer-blazser lamanya yang bernuansa hitam dan abu-abu. Tidak lagi nongkrong di kafe atau karaokean sepanjang malam sambil memakai sepatu bot. Namun sekarang Zura melihat, seolah ada yang hilang dari Mama. Mama jadi kelihatan lebih tua. Mama jadi lebih pemurung dari biasanya. Sebetulnya kalau mau jujur, Zura lebih suka Mama yang kemarin. Tampil muda dan freshdengan blazer warna-warni. Memakai cardigan orange dan sepatu bot.
            Malam itu Zura mencari-cari Mama. Rupanya Mama sedang duduk sendirian di balkon lantai atas. Seperti sedang menghitung bintang di langit.
            “Mama, Tante Mer...”
            “Tante Mer pergiberobat ke Singapura, Sayang,” ucap Mama lembut.
            “Berobat? Jadi bukannya menikah dengan om-om yang suka ketemu dengan Mama dan Tante di karaokean itu?”
            “Tante Mer dibujuk saudaranya agar mau dioperasi.Om-om itu adalah Koh Lian, sepupunya Tante Mer. Oh iya, Tante Mer menitipkan buku ini untukmu.” Mama menyerahkan buku kecil berwarna ungu fuschia. Buku Harian milik Tante Mer.
            Zura membuka dan mulai membaca buku itu, halaman demi halaman. Kadang-kadang bibirnya mengulas senyum. Namun semakin halamannya mendekati habis, mata Zura tiba-tiba berkaca-kaca.
            “Jadi, Tante Mer terkena kanker payudara ya Ma?” bisik Zura lirih.
            “Stadium empat.”
            “Tapi kenapa tubuh Tante Mer tetap berisi dan ...”
            “Tidak semua kasus cancer berimbas pada berat badan, Ra. Kalau Tante Mer, rambutnya yang rontok dan habis. Selama ini Tante Mer memakai rambut palsu.”
            “Dan Mama berusaha menghibur Tante dengan mendatangi tempat-tempat yang membawa kenangan saat kuliah ya?” Zura tersenyum haru.
            “Iya. Mama bela-belain memakai pakaian seperti yang dikehendaki Tante Mer, agar ia bahagia. Tante Mer orang yang hebat. Ia tak ingin terlihat sakit. Ia tak ingin dikasihani.”
            “Mama dulu sangat dekat ya dengan Tante Mer?”
            “Sahabat sejati. Tante Mer bahkan rela terbang dari Australia untuk menghibur Mama saat Papamu tiada.”
            Lalu Mama bercerita banyak. Tentang Tante Mer yang kesepian, karena anak satu-satunya memilih ikut papanya dan kuliah di Aussie. Tentang penyakitnya yang tiba-tiba sudah sampai ke stadium empat. Tante Mer sudah tahu bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Maka ia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di Indonesia, tempat ia merajut kenangan demi kenangan semasa sekolah dan kuliah. Tante Mer mengabaikan permintaan saudara-saudaranya untuk menjalani operasi di Singapura. Menurut Tante Mer, operasi hanya mempercepat proses dirinya menghadap Yang Maha Kuasa.
            Sebagai seorang sahabat, Tentunya Mama ingin memberikan dukungan kepada Tante Mer. Apalagi di saat-saat sulit seperti itu. Mama dan Koh Lian berusaha membujuk Tante Mer agar mau mencoba menjalani operasi.
            Tiba-tiba ulu hati Zura terasa sakit. Zura ingin menangis, menyesali tingkahnya yang kekanak-kanakan. Ada yang salah dalam pandangannya selama ini.Tante Mer ternyata tidak seperti yang ia bayangkan semula. Ia menyesali sikapnya yang telah salah sangka.
            “Ma, Zura ada tabungan. Zura ingin pesan tiket pesawat secara online ke Singapura. Zura ingin minta maaf sama Tante Mer. Mama mau mengantar Zura kan?” Mata Zura tiba-tiba memanas. Ia teringat peristiwa sore itu. Saat ia mengusir Tante Mer.
            “Sudah terlambat Sayang. Besok pesawat akan membawa Tante Mer kembali ke tanah air.”
            “Jadi operasinya berhasil? Kita ikut jemput di bandara ya Ma?” Zura memekik penuh harap.
            Mama menggeleng sedih, saat berkata,” Tante Mer sudah kembali dalam damai bersama Tuhan, Zura. Tapi beliau sudah memaafkanmu. Buka halaman terakhir buku hariannya!”
            Zura membaca tulisan Tante Mer. Tulisan kecil-kecil dan sangat rapi itu menyiratkan bahwa Tante Mer sudah memaafkannnya. Tante Mer memaklumi tindakannya yang ingin menjaga Mama. Tante Mer juga berpesan agar Zura selalu menjaga dan menyayangi Mama. Karena hanya Tuhan yang tahu, sampai seberapa lama jatah umur seseorang di dunia ini.
Tubuhnya Zura bergetar lembut menahan kesedihan yang membadai di dadanya. Tinta biru dalam buku itu beberapa mulai pudar. Air matanya menderas membasahi halaman terakhir buku kecil berwarna ungu fuschia itu. Ketika kemudian buku itu ditutup, Zura hanya bisa menangis tanpa suara di pelukan Mamanya.
@@




Comments

Popular posts from this blog

Satu Cerita Aneh

Pemain Drama Korea Beautiful Love Wonderful Life dan Sinopsisnya

Insan dan Waktu: Cerpen Hastarika