Perempuan Tua dalam Kepala
Perempuan
Tua dalam Kepala
Cerpen Pilihan Kompas
Cerpen Pilihan Kompas
Karya Avianti Armand
Di dalam kepalaku hidup seorang
perempuan tua pemarah yang gemar menghentak-hentakkan kaki dan
berteriak-teriak. Begitu tuanya, dia menyerupai seonggok pohon kering-keriput,
bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan sudut-sudut yang janggal. Suaranya
seperti derit roda kekurangan minyak. Jika dia berteriak, aku terpaksa menutup
telinga.
Dia
menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi
berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah
itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan
beranak-pinak di dalamnya.
Sesekali kulihat perempuan itu
mencungkili ulat-ulat tadi dari dinding, memasukkan mereka ke dalam panci, dan
membawanya ke dalam rumah. Aku tak tahu apa yang dilakukannya dengan ulat-ulat
tadi. Tapi tak lama sesudahnya, asap akan membubung dari cerobong. Ulat-ulat
tadi mungkin telah jadi sup atau ramuan pembuat gila.
Aku
percaya dia adalah seorang penyihir. Sejak tinggal di kepalaku, belasan tahun
yang lalu, perempuan itu seolah berhenti menua.
Aku tak
menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia menyukai apa yang tidak kusukai dan tidak
menyukai apa yang kusukai. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang
jatuh dari sepeda, dan menjerit-jerit marah ketika suatu pagi aku menikmati
suara burung-burung pertama di pohon depan rumah. Jeritannya membuat
burung-burung itu kabur ketakutan.
Tapi ia
bertepuk senang ketika aku menempeleng pengendara motor yang memotong jalur
mobilku. Atau mengajukan saran-saran balas dendam yang benar-benar bagus ketika
aku bersungut-sungut keluar dari ruang kerja bosku setelah setengah jam penuh
diceramahi karena terlalu sering terlambat. Satu sarannya kujalankan. Hari itu
bos terpaksa pulang naik taksi karena dua dari empat ban mobilnya kempes. Tak
seorang pun mencurigaiku.
Di
saat-saat terburuknya, perempuan tua itu benar-benar menyulitkan. Dia akan
memukuli bagian dalam kepalaku dengan tongkatnya, atau menusuk-nusuk otakku
dengan jarum jahitnya yang besar. Sakitnya luar biasa. Aku hanya bisa diam-diam
menangis sambil membentur-benturkan kepalaku ke benda-benda keras yang
terdekat: tembok, pintu, kepala tempat tidur, meja, kursi, wastafel, pinggiran
bath tub,… apa saja – dan baru berhenti setelah dia berhenti.
Aku
pernah mengusirnya. Tentu saja dia tak mau. Aku mengancam akan meledakkan
kepalaku. Dia malah menantang, ”Coba saja kalau berani!” Dia menang. Aku memang
pengecut. Sejak itu, dia makin kejam dan sewenang-wenang. Aku tak bisa berbuat
lain kecuali belajar menahan rasa sakit agar dia tak selalu menang.
Tapi
sore ini dia cukup tenang. Mungkin karena aku sekedar duduk minum kopi di
sebuah café di sebuah mal dengan pikiran kosong. Sesuatu yang tak membuatnya
geram ataupun senang.
Tak
banyak yang lalu lalang di tengah minggu seperti ini. Cuma gadis-gadis dengan
baju serba terbuka. Ibu-ibu muda dengan rambut bergulung-gulung dan wangi yang
menyengat hidung. Di belakang mereka, rombongan baby sitter berseragam
kedodoran membuntuti dengan tergopoh-gopoh. Beberapa menggendong bayi, lainnya
membawa tas berisi botol-botol susu dan air panas yang terlihat berat. Tiga
lelaki gemuk lewat dengan celana dan kemeja berbunga-bunga cerah yang tak
serasi. Satu dari mereka mengenakan kalung dan anting-anting emas. Aku menunduk
muak.
”Sen!”
Seorang lelaki tiba-tiba menjulang di depanku. Tinggi, tegap, wangi. Wajahnya
bersih. Senyumnya berkilau. Aku langsung teringat sebuah iklan pasta gigi, tapi
kesulitan mengingat siapa dia. Mataku pasti penuh tanda tanya karena matanya
kemudian dengan sabar menuntunku ke sebuah gudang di satu siang, belasan tahun
yang lalu.
Di satu
sudutnya, seorang anak lelaki kecil dengan celana pendek hijau berjongkok di
sebelahku. ”Jangan takut,” bisiknya. Tangannya lalu menggenggam tanganku.
Dengan tangan yang lain dia mengangsurkan sehelai selampai untuk menghapus air
mata dan ingus. Aku masih menyimpannya hingga kini.
”Ben?”
Tanyaku ragu. Dia mengangguk. Senyum pasta giginya melebar, nyaris menunjukkan
geraham. Dia langsung duduk di depanku dan, seperti dulu, menggenggam tanganku.
Aku tak sempat merasa jengah. Tapi ulu hatiku mendadak kram dan di perutku
seekor kupu-kupu raksasa mengepak panik.
”Kamu
menghilang begitu saja!” Protesnya. Aku tak yakin harus menjawab apa. Sejak
gudang itu, kami memang tak pernah bertemu lagi. Baju pengantin yang kugunting
hingga jadi potongan-potongan kecil tak membatalkan pernikahan ibu. Sehari
sesudahnya, kami pindah kota mengikuti ayah baruku. Aku minta maaf karena tak
sempat berpamitan. Aku berbohong. Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya
karena takut ia akan meminta sapu tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya.
Ben
percaya dan memaafkanku. Ia memesan secangkir kopi, lalu duduk menemaniku. Tak
banyak yang bisa kukatakan. Butuh waktu untuk memilah-milah tumpukan cerita
yang seketika menggunung di belakang kepala. Ben cukup bijak untuk tak bertanya
apa-apa. Dia cuma menyesap kopinya pelan-pelan sambil sekali-sekali menatapku.
Aku berkali-kali menelan kata-kata yang tersangkut di pangkal lidah. Ketika dia
menggenggam tanganku untuk kedua kalinya, kelopak mataku memejam. Di baliknya,
perempuan tua itu duduk dengan muka masam. Matanya berkilat sepekat malam.
***
Lelaki
yang dicintai ibu mencintaiku juga. Ia suka membelai kepalaku dan membelikan
aku berbagai jajanan: permen dan aneka keripik yang mengandung msg. Aku tahu,
permen tak baik untuk gigi, dan msg tak baik untuk otak, tapi aku tak peduli.
Ibu tak pernah membelikan jajanan dan tak memberikan ayah. Jadi, lelaki ini
ideal. Ia akan jadi ayah yang suka membelikan jajanan.
Ia
sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di
kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka
geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu
malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan
uangnya di mal.
Di hari
perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu.
Dari
udara yang tipis perempuan tua itu menjelmakan burung-burung hitam. Tujuh ekor
banyaknya. Mereka berjajar dengan gelisah di bubungan rumahnya. Menanti.
Mengancam. Lalu, dengan satu isyarat tangan, gagak-gagak itu menyerbu bola
mataku, mematuk-matukinya tanpa ampun.
”Tutup
matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri
yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku
menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia
membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. Aku nyaris pingsan karena sakit yang
tak tertahan. Dan rasa mual yang bergulung-gulung. Sesuatu tiba-tiba meledak
dalam duburku. Cengkeraman lelaki itu seketika melemah. Ia mencampakkanku di
lantai. Isi perutku tumpah saat itu juga.
Entah
berapa lama aku tak sadar. Ketika mataku terbuka, burung-burung hitam telah
pergi. Perempuan tua itu berdiri diam, mengamatiku berkubang dalam muntahku
sendiri.
***
Di
depan pintu itu, ia berdiri dengan senyum yang harum. ”Aku berharap kamu cukup
lapar.” Ben menjawab bahwa dia sudah tak makan tiga hari. Aku terbahak. ”Aku
bahkan bisa makan daging mentah,” lanjutnya, sambil mengerling nakal. Ia mulai
genit. Meski begitu, aku merasa sedikit tersanjung. Telingaku tiba-tiba
berdenging. Perempuan tua itu menggeserkan ujung tongkatnya yang tajam ke
dinding kepalaku.
Ben
masuk tanpa kusilahkan. Dengan santai ia melepas sepatu dan melempar tubuhnya
ke sofa. Seketika ia melesak. Busa sofa tua itu memang terlalu empuk.
”Apartemenmu nyaman,” pujinya. Matanya menjelajahi studioku yang cuma 42 meter
persegi. Dari tempat dia duduk, semua bisa terlihat. Tak sampai lima menit ia
selesai memindai semuanya: pintu masuk, dapur kecil, ruang makan kecil, ruang
kerja kecil di samping jendela, sofa bed, dan kamar mandi mungil yang cuma
ditutupi korden.
Aku
menawarinya minum. Ia menolak halus. Matanya tajam menatapku. Jantungku
langsung berdebar gila. Agak gugup, aku kembali ke dapur. Sambil pura-pura
mencuci tangan yang tak kotor, aku menenangkan diri. ”Aku membuat greek salad
dan fish linguini. Kita makan?”
Di atas
meja sudah kusiapkan dua piring, dua set sendok, garpu, dan pisau, dua gelas
air putih, dua gelas kosong untuk anggur nanti. Semuanya tertata rapi. Ben
berdiri menghampiri. Aku menarik kursi, bersiap untuk duduk. Tapi Ben menarik
tanganku, menghela tubuhku mendekatinya. ”Kita langsung ke acara utama saja,”
ujarnya dengan bibir yang hanya berjarak satu senti dari bibirku.
***
Ibu
bilang, anak laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku
merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya.
Laki-laki itu bilang, aku tak boleh bercerita pada ibu, atau ia akan
benar-benar menyakitiku. Di balik pintu aku berdiri kaku dengan bibir terkatup
rapat dan tinju terkepal erat, lalu mulai berhitung.
Satu,
dua, tiga. Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima, enam. Laki-laki
itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan. Ia menelungkupkanku di tempat
tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang terbuka. Aku menutup mata
erat-erat. Di hitungan kesepuluh, pintu rumah perempuan tua itu terbanting
terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas. Lelaki itu menindih tubuhku.
Napasnya mulai terengah.
Tiga
belas. Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya keluar kata-kata
paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang kaget. Dengan
sigap perempuan tua itu meraih lampu baca di samping tempat tidur. Sepenuh
tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi beradu tulang.
Aku mendengar suara retak. Tubuh lelaki itu terpuruk ke lantai. Darah merembes
pelan dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua menghantamnya. Lagi. Lagi. Lagi.
Empat
belas, lima belas. Lelaki itu tak bangun lagi. Di dalam kepala, tawa serak
perempuan tua itu menggema tak henti-henti, menelusup ke rongga-rongga kecil di
tengkorakku. Aku menggigil. Rasa dingin seketika menyelimutiku.
***
Sambil
berbaring di tempat tidur, kuceritakan pada Ben tentang masa kecilku yang
bahagia. Ayah tiriku mati muda. Tapi ibuku segera menikah lagi. Kami pindah
keluar negeri. Aku punya dua adik tiri perempuan yang manis-manis. Ibuku
meninggal tahun lalu setelah tiga tahun menderita kanker rahim. Aku kembali ke
sini sesudah lulus kuliah dan langsung bekerja sebagai editor mode di majalah
wanita dengan oplah terbanyak di Indonesia. Hingga kini.
Ben
membelai rambutku. Dia bilang, dia senang bisa bertemu kembali denganku. Sejak
berpisah dulu, dia tak bisa melupakanku. Mataku berair. Ben terlihat kuatir.
”Kenapa, sayang?” Aku bahagia, sahutku cepat.
Di
dalam kepalaku, perempuan tua itu menggerutu. Ember di tangannya kini kosong.
Aku tak tahu, cairan apa yang tadi disiramkannya ke mataku. Rasanya perih
sekali.
____
Jakarta,
26.11.10.
Comments
Post a Comment