Tukang Cukur
oleh Gus tf
Sakai
Barangkali memang ada perubahan dalam dirinya. Tapi entahlah. Sebagai
seorang tukang cukur, ia hanya berhadapan dengan kerutinan, melakukan hal yang
sama setiap hari sampai-sampai ia pernah berpikir hidup ini hanyalah perulangan
dan karenanya tak ada yang penting. Heran, bagaimana tiba-tiba dalam dirinya
muncul semacam harapan?
Barangkali itu bukan harapan. Barangkali hanya semacam perasaan senang,
perasaan suka, seperti yang selama ini selalu ia ciptakan untuk menghilangkan
kejemuan setiap tangannya bergerak meluncur turun-naik berulang-ulang menekan
kulit dengan pisau cukur yang dimiringkan. Ia nikmati luncuran pisau itu saat
tiba di pipi, di dahi, tapi ia akan lebih senang lagi ketika pisau cukur itu
tiba di dagu. Dagu yang kokoh. Dagu lelaki. Tak jarang ia tiba-tiba mengangkat
wajah, menatap ke cermin, membandingkan dagu yang tengah ia cukur dengan
dagunya yang tirus dan halus. Heran, kenapa bisa begitu berbeda?
Tapi itu tak penting. Tapi ia kembali memikirkan dagu itu. Dan lelaki.
Lelaki itu. Ia muncul di pintu biasa-biasa saja seperti orang-orang ingin
bercukur lainnya melayangkan pandang mencari-cari kursi yang kosong (artinya,
mencari tukang cukur yang menganggur) lalu mereka bertatapan dan tiba-tiba
dadanya berdebar. Mungkin ia panik. Tapi tidak. Sebagai tukang cukur satu-satunya
yang menganggur, ia ingat, saat itu, buru-buru ia tersenyum seraya menggerakkan
tangan mempersilakan lelaki itu duduk. Tapi, kapan ia pernah tersenyum kepada
seseorang yang ingin bercukur apalagi mempersilakannya duduk?
Ahh, apa salahnya. Setiap tukang cukur biasa ramah
kepada orang-orang yang dicukurnya. Tapi ia ingat setelah itu ia membeku, diam
seperti batu. Tapi tubuhnya berpeluh. Dingin. Ia berusaha membendungnya,
bersikap biasa, tapi tangannya gemetar ketika mulai mencukur muka.
“Anda sakit?”
Ia sumpahi dirinya
ketika itu. Kembali ia usahakan untuk bersikap biasa. Tapi celaka, tidak bisa.
Ia bayangkan begitu selesai lelaki itu akan pergi entah ke mana dan ia akan
melupakannya, hidup hanya perulangan dan setiap perulangan hanya akan
begitu-begitu saja -- memuakkan. Tapi, tapi, tangannya menggigil ketika pisau
cukurnya sampai di dagu.
“Anda pasti
sakit.”
“Aaa ... tidak.
Tidak.”
***
Hanya begitu peristiwa awalnya. Dan ketika segalanya
telah selesai, dan ketika lelaki itu melangkah ke kasir dan membayar lalu
lenyap di pintu, tiba-tiba hidup menjadi sunyi. Ada yang seperti terlepas dari
raihan dan ternyata hidup bukanlah begitu-begitu saja. Tapi tidak. Hidup ini
hanyalah perulangan. Dan memang hanya kesunyian. Dan kesendirian. Ia malah
telah lama melupakan dan menyebut hubungan antara seseorang dengan seorang lain
hanyalah bohong besar, tak lebih dari “Hai!” tertimpal “Hai!” seperti batu
menimpa kaleng yang mesti bersuara, sekadar menunjukkan bahwa mereka bukanlah
terdiri dari daging yang bisu. Bahkan di ruangan ini, di tempatnya bekerja,
seorang tukang cukur dengan tukang cukur lain berkomunikasi hanya dengan
gumaman. Gumaman tak jelas, kosong, tak berarti apa-apa, kecuali memperlihatkan
bahwa seseorang tengah berusaha keluar dari kepungan kejemuan.
Tapi tidak. Debar di dadanya sering berulang. Setiap
seseorang masuk ingin bercukur, serta-merta ia menoleh ke pintu, membayangkan
bahwa lelaki itulah yang datang. Setiap pisau cukurnya meluncur di dagu, entah
di dagu siapa, dagu lelaki itulah yang olehnya selalu terbayang. Ahh, tidak.
Lelaki itu telah lenyap, telah lenyap, dan kini entah berada di mana. Mungkin
saja di sebuah tempat yang jauh di sebuah kota yang jauh, dan tak mungkin lagi
muncul -- hanya untuk bercukur -- di kota ini. Barangkali saja ia seorang
pelaut, dan kini telah berada di benua yang lain, dalam kehidupan yang lain. Di
benua yang lain itu, apakah ia juga tengah bercukur dengan seorang tukang cukur
yang lain? Tapi, tapi, rupanya tidak.
***
Tepat sebulan kemudian lelaki itu kembali muncul. Ia,
saat itu, sebetulnya tengah mencukur seseorang tapi rupanya lelaki itu sengaja
menunggu. Ia ketahui itu ketika si lelaki duduk di kursi tunggu, membolak-balik
majalah dan koran tapi sebetulnya lebih sering menatap ke arahnya dan setiap
mereka bertatapan dadanya gemuruh. Ia tak bisa berkonsentrasi, tak bisa tenang,
sehingga lelaki yang tengah ia cukur jadi selesai lebih lama dari yang
diharapkannya. Lalu, seperti sebulan yang lalu itu, ia kembali seperti batu.
Batu yang dingin, tapi berpeluh. Dan tangannya, tangannya kembali gemetar
ketika akan mulai mencukur muka.
“Anda masih
sakit?”
“Aaa ... tidak.
Ma-maaf, Anda tidak akan luka.”
“Saya
mengkhawatirkan Anda. Kelihatannya Anda sakit. Tangan Anda dingin dan
menggigil.”
Tidak hanya tangan. Tapi seluruh tubuhnya dan berpusat
di dada. Saat itulah ia tak lagi meragukan bahwa dalam dirinya, dalam hidupnya,
memang telah ada harapan. Harapan? Ia ingin melupakan tapi pipi lelaki itu,
dagu lelaki itu, sungguh melahirkan rasa kasih. Dan mata lelaki itu, dan
hidungnya dan bibirnya dan cara lelaki itu berbicara, sungguh menumbuhkan rasa
cinta. Dan lalu: pertemuan (tepatnya, saat-saat bercukur) selanjutnya, ia mulai
membayangkan dan merasa sayang kalau-kalau lelaki ini telah jatuh ke tangan wanita.
Tapi siapa tahu? Lelaki ini terlalu tampan untuk tak terjerat oleh bujuk rayu
manis yang memualkan. Atau ... tidakkah lelaki ini telah beristri? Mendadak ia
jadi cemburu.
Cemburu. Dan rindu. Tentu pula rasa gelisah karena
akan lama mereka kembali bertemu. Berhari-hari, berminggu-minggu. Dan tak ada
yang bisa ia lakukan kecuali menunggu, berharap, dan kemudian kecewa lalu
malam-malamnya ia akan keluar melangkahkan kaki entah ke mana. Mula-mula ia
senang ke keramaian, membayangkan bertemu dengan lelaki itu tak sengaja di
tengah lalu-lalang orang, tapi billboard dan lampu-lampu membuatnya sering
pusing dan limbung. Ia tarik tubuhnya ke kegelapan, menyuruk-nyuruk ke
kedalaman kota dan lama-kelamaan jadi bagian dari lorong-lorong tua yang
dingin, lembab, dan bagai berasal dari suatu zaman di masa lalu entah kapan dan
di mana.
Ia pikir, dari hari ke hari, tubuhnya mengurus. Tapi
ajaib, ia merasa bergairah. Betulkah harapan bisa membakar?
***
Lebih dari membakar. Suatu hari ia kesiangan,
terlambat sampai di toko cukur karena perjalanan malamnya yang larut. Ia
sorongkan anak kunci ke laci, memutar lalu menariknya, menata alat-alat cukur
seperti biasa, tapi tiba-tiba perasaannya mengatakan agar menoleh ke samping.
Dan ia terkejut. Lelaki itu ada di sana. Memejam-mejamkan mata tengah bercukur
dengan kawannya. Ada beberapa detik ia terpana. Memperhatikan bagaimana tangan
dan pisau cukur rekannya bekerja, bermain di dagu, di pipi, di dahi.
Serta-merta, sekejap mata, ia raup seluruh alat
cukurnya. Ia kembalikan semuanya ke laci secepat kilat lalu mengunci, membalikkan
tubuh, lalu melangkah secepat berlari. Di luar, barang kali ia berteriak. Tapi
entahlah. Kesadarannya baru sempurna ketika dengan terengah ia telah berada di
kamarnya. Kenapa lelaki itu -- lelakiku -- tidak menunggu dirinya?
Berhari-hari ia seperti sakit. Bermalam-malam ia
seperti gila. Tapi tidak. Ia toh tahu hidup ini tak begitu penting. Hidup ini
hanyalah perulangan. Hanyalah kejemuan. Hidup ini hanyalah kesunyian. Hanyalah
kesendirian. Heran, kenapa ia pernah percaya kepada harapan?
Ia seorang tukang cukur dan kewajibannya hanyalah
mencukur. Tak sengaja ia kini punya malam dan lorong-lorong kota yang samar,
yang kelam, seperti melarutkan segenap kesedihan. Kegelapan seperti palung yang
dalam, menyedot apa pun seperti menelan. Tandas. Kadang ia berpikir, alangkah
senang menjadi bagian dari kelenyapan.
Tapi tidak. Pekerjaan membuatnya harus muncul setiap
pagi, sepanjang siang sampai senja hari. Mencukur. Sejak kapankah ia jadi
tukang cukur? Ah, entahlah. Telah lama ia melupakan segala yang berkaitan
dengan masa lalu dan asal-usul. Bukankah keberadaan seseorang hanya dilihat
pada hari ini dan kini? Dan lelaki itu, telah empat kali dengan pagi ini,
kembali ia dapatkan tengah bercukur dengan kawannya.
Ada yang tiba-tiba menyesak. Tapi tidak. Ia telah,
telah tak peduli. Tapi tidak. Pipi lelaki itu, dagu lelaki itu, sungguh
melahirkan rasa kasih. Tapi tidak. Hidup telah, telah tak lagi penting. Tapi
tidak. Bibir lelaki itu, hidung lelaki itu dan matanya yang sayu terpejam,
sungguh menumbuhkan rasa cinta. Tapi tidak. Tapi ... tapi, tubuhnya menggigil.
Lelaki itu masih menutup mata ketika dengan begitu
saja ia menggeser rekannya. Rekannya seperti tersihir, memberikan tempat
untuknya, membiarkan ia begitu saja menggantikan pekerjaannya.
Tenang sekali tangannya meluncur. Mencukur dahi,
mencukur pipi, mencukur dagu. Seperti biasa, lembut. Halus. Lelaki itu seperti
tertidur.
Tenang sekali pisau cukur itu turun ke leher. Sedetik.
Dua detik. Pada detik ketiga ia tiba-tiba menekan, lalu menariknya dengan satu
sentakan.
Darah muncrat. Menyembur-nyembur. Dalam pandangannya
begitu menakjubkan. Amat indah.
Padang, 6 Juli 1995
Dimuat di Kompas, Minggu, 27
Agustus 1995
Sumber: Rampan, K. L. (2009). Apresiasi Cerpen Indonesia
Mutakhir. Jakarta: Bukupop.
Comments
Post a Comment