Aku Bukan Patung: Cerpen Hastarika

Aku Bukan Patung
Karya: Hastarika Purwitasari

Awalnya gelap, tapi tiba-tiba...cahaya mentari menyilaukan. Sangat menyilaukan, tapi kenapa aku tidak bisa menutup mataku? Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? Tubuhku, oh tubuhku tidak bisa bergerak. Kenapa tubuhku membeku seperti ini? Kenapa ini Tuhan? Air, ikan koi, bunga teratai merah muda? Aku dikelilingi mereka. Aku berada di tengah-tengah....kolam? Kenapa aku bisa berada di tengah kolam ini, Tuhan?

Burung pipit kecil hinggap di bahuku, meloncat, lalu pergi. Hei burung pipit kecil, tolong aku, aku tidak bisa bergerak. Hei, jangan pergi..ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah suaraku tidak terdengar? Siapapun, aku mohon tolong aku!

Sepanjang hari, orang-orang yang lewat menyebutku tampan. Ah, benarkah. Aku bahkan tidak menyadarinya. Aku terdiam lagi, mendengarkan gemericik pancuran air kolam, mengamati bunga teratai merah muda yang perlahan mekar, meninggalkan masa kuncupnya. Bunga mawar merah muda, bunga lily, anyelir, bunga kertas di tepi kolam juga ikut mekar.  Rumput yang hijau berembun dan pohon-pohon rindang yang meneteskan embun di ujung-ujung daunnya terlihat segar. Indah sekali mereka, aku baru menyadarinya.  Embun itu menguap sekarang.

Gemericik pancuran kolam, ikan koi yang tenang, bunga teratai merah muda kuncup dan mekar. Aku menikmati semuanya. Berulang-ulang.  Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku terperangkap disini selamanya? Begini selamanya di tengah-tengah kolam?

Lalu, entah kenapa kali ini pandanganku tertuju pada sosok gadis cantik berbaju krem lembut. Ia berjalan perlahan. Rambut lurus hitam terurai, bola mata coklat indah, bulu mata lentik, bibir merekah, kulit putih langsat berjalan perlahan, kearahku. Ah tidak, ia berjalan lalu duduk di kursi tepat di depanku. Ia mengeluarkan buku dari tas tangan kecil putihnya dan membuka perlahan buku itu. Lalu, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan lincah. Tapi, tiba-tiba matanya memandang padaku, melihatku agak lama, dan kemudian berjalan ke arahku. Apakah dia bisa mendengarku? “Patung ini bagus sekali, terlihat tampan.” Ia lalu mengambil sesuatu di tas putihnya. 
Sebuah ponsel. Ia lalu mengambil gambarku dengan ponsel itu dan kemudian tersenyum. Oh, Tuhan.

Sementara ia di dekatku, ingin sekali aku memetik dan memberikan setangkai mawar merah muda yang ada di pinggir kolam ini padanya. Ah, tidak, menyapanya saja, itu sudah cukup bagiku. Tapi apa daya, aku tidak bisa bergerak. Tubuhku beku. Bibirku bisu. Aku hanya sebuah patung tembaga di tengah-tengah kolam ikan koi kecil. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah melihatnya, melihatnya, dan...melihatnya pergi. Gadis itu pergi, gadis itu pergi. Oh, Tuhan, betapa menyedihkannya aku.  Aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya patung, tidak bisa bergerak, berjalan, ataupun berlari. Bicara pun aku tak bisa. Menutup mataku karena mentari yang menyilaukan pun aku tak bisa. Kenapa aku hanya sebuah patung? Patung yang indah, tampan, tapi tidak berguna. Kenapa? kenapa aku hanya sebuah patung? Kenapa? Kenapaaaa?


Perlahan, aku membuka mataku. Terasa berat. Kukedipkan mataku, berkali-kali. Kuraba wajahku, masih lengkap dan tidak keras. Hanya tulang hidungku yang keras. Kugerakkan kepalaku, kekanan dan kekiri, jari tanganku, lenganku, kakiku, semuanya, dan yang terakhir adalah badanku. Oh, aku masih berbaring di atas kasur empukku dan selimut hangat. Ternyata hanya mimpi. Aku sedikit lega. Tuhan, aku bukan patung, aku bukan patung, dan jangan jadikan aku patung. Aku adalah manusia. Aku janji akan mearaih tujuanku, cita-citaku, hidupku. Aku tidak akan malas. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak akan membiarkannya pergi. Sekarang. 

Pengarang: Hastarika Purwitasari
FB Pengarang: Hastarika Purwitasari

Comments

Popular posts from this blog

Satu Cerita Aneh

Pemain Drama Korea Beautiful Love Wonderful Life dan Sinopsisnya

Insan dan Waktu: Cerpen Hastarika