Rendezvous
Rendezvous
Cerita Pendek
Karya Agus Noor
Suatu malam aku terdampar di sebuah kafe. Ah, terdampar! Aku
merasa pas dengan ungkapan itu.
Seperti biasa, begitu malam menyepuhkan kelam, aku segera
berkelebat keluar rumah seperti kelelawar terpesona kegelapan yang gaib.
Kegelapan yang selalu membuat seluruh sarafku meremang lantaran sisa hangat
matahari yang bagai menguap, suara-suara yang perlahan mengendap dalam gelap,
remang bayang dan langit yang bimbang menyaksikan kota yang mengubah diri
dengan terang cahaya. Tetapi, kesunyian yang menyebar di udara bagai menghisap
gemerlap cahaya itu, hingga kota terlihat memucat seperti wajah seorang tua
yang tengah sekarat.
Mobil meluncur pelan dan tenang. Aku seperti mengapung dalam
genangan cahaya yang berkilatan di jalanan yang basah karena sisa hujan. Sungguh,
alangkah ganjilnya kota ini. Angin yang berkesiur bagai menghembuskan kutuk.
Sesekali, terdengar erang panjang, mengambang, lalu pelan-pelan menghilang
dalam gulungan awan hitam yang berarakan di langit utara. Ada ketakutan
mengeram. Hanya satu dua kendaraan melintas, dan pejalan kaki yang terlihat
bergegas. Sisa-sisa kerusuhan seminggu lalu yang menghanguskan kota memang
masih merupakan hawa panas, juga cemas.
Kukira itulah yang membuat Wawan, Anang, Eko,
Agung--kawan-kawan malamku--menolak ketika aku menelepon, mengajak mereka
menghabiskan malam di kafe seperti biasanya. Apalagi, dua hari lalu
segerombolan orang bertopeng dan berpedang menyerbu tempat-tempat hiburan
malam.
"Malam ini aku mau di rumah saja...," desah Wawan
ketika kutelepon. "Yeah, sesekali jadi suami yang baiklah...."
Aku pura-pura batuk. Ehm. Jadi, suami yang baik? Aku tahu;
itu artinya suami yang menghabiskan malam hanya di tempat tidur bersama istri.
Baiklah, baiklah..., selamat, jadi suami-suami munafik! Kubayangkan mereka bagaikan
hantu-hantu yang terkurung di rumah tua penuh kutukan, memilih mendekam dalam
kamar. Ah, tetapi barangkali itulah enaknya punya istri, ada kawan berbagi
sepi, ada yang mau membikinkan kopi, ada yang bersedia jadi keranjang caci
maki! Sementara aku sendiri disesah sunyi seperti ini. Sendiri meluncur dan
terapung-apung alun cahaya yang gemerlapan, tetapi menderaskan kehampaan. Ah,
hati yang tak mau berbagi, mampus kau dikoyak-moyak sepi!1
Aku meluncur, terus meluncur, dalam pusaran arus kesunyian
yang membuat gedung-gedung tampak berkilauan terperciki tempias cahaya yang
bergemericikan bagaikan kucuran hujan. Kusaksikan cahaya yang terus mengalir,
mengaliar dan mengalir seperti air2, menggenangi jalan-jalan kota. Aku seperti
pengembara bersampan mengapung di alun lautan yang berkilauan. Malam yang
menakjubkan! Aku tak mengerti, kenapa banyak orang membenci malam. Kenapa
mereka memilih tidur di waktu malam? Mereka tak akan pernah menyaksikan
keajaiban ini. Ketika cahaya perlahan-lahan menggenangi kota hingga segala jadi
terlihat gemerlapan. Di mana-mana menampak keping-keping cahaya keperakan
terapung-apung bagaikan pecahan mutiara, sementara cahaya terus meluap
menenggelamkan gedung-gedung.
Sedang aku terus terapung-apung....
***
SAMPAI kemudian--sebagaimana kubilang--aku akhirnya
terdampar di sebuah kafe! Setelah waktu seakan berhenti dalam sunyi, aku
melihat cahaya keemasan menyemburat di bawah langit yang keruh dan tirus bagai
lakmus. Aku terseret ke sana, seakan cahaya kemasan yang berkilauan itu
menghisap seluruh gerak yang berkitaran di sekelilingnya. Ia seperti magnit
yang menghisap biji-biji besi.
Ternyata, cahaya itu berasal dari sebuah rumah tua yang
sudah dipugar menjadi kafe. Sungguh, tak pernah kulihat kafe ini sebelumnya.
Kafe yang tenang, dengan pencahayaan ruang yang temaram. Tembok dan lantai yang
cenderung kusam sewarna tanah, tapi menciptakan suasana teduh dan ramah,
membuatku seperti pengembara telah menemukan tempat istirahat. Deretan
sketsa-sketsa kota tua, serakan koin antik dan biji-biji kopi di baki yang
seakan tergeletak begitu saja di atas meja jati, setrika arang berpentol kepala
jago, foto-foto kuno, patung-patung magis yang bagai samadi di bawah temaran
lampu bertudung.... Semua itu membuatku merasa kembali diingatkan pada masa
silam yang tenang dan hendak selalu dikenang.
Aku duduk, sedikit digayut kantuk. Ingin kuguyur sepi dengan
segelas campari. Kuingat kawan-kawan. Sungguh, kurindukan seorang kawan di
saat-saat seperti ini. Kupikir, itulah kenapa kita membutuhkan kafe. "Agar
kita punya kemungkinan menemukan kawan," kata Wawan, suatu kali.
"Malah, bagiku, kafe menjadi semacam rumah ibadah yang membebaskan; tempat
di mana aku bisa mengungkapkan seluruh beban hidupku. Begitulah, setiap kali ke
kafe, aku seperti tengah melakukan ritus pengakuan dosa! Ha ha ha...."
Kafe. Bualan. Kawan-kawan yang mengasyikkan. Janji dan
kencan. Barangkali semua itu memang telah menjadi upacara yang mampu
membebaskan dari rutinitas hidup yang membosankan. Setidaknya bagi pecinta
malam seperti aku, kafe selalu menghadirkan keajaiban lain dari malam. Malam
yang selalu mempertemukanku dengan yang bernama kawan. Malam yang selalu
membuatku bisa mengenal manusia dengan seluruh kerisauan dan impiannya. Malam
adalah firdaus. Ah, tapi firdaus itu kini telah diobrak-abrik segerombolan
orang bertopeng yang menganggap malam hanya sarang kemaksiatan dan dosa.
Tidakkah mereka tahu, betapa Tuhan menciptakan firdaus pada malam hari? Dan
karena itulah malam menyimpan kemegahan dan kemeriahan surgawi! Saat ini, aku
merasa seperti Adam yang sendiri menghayati sepi, terusir dari surga dan
merindukan makhluk yang diajaknya berbagi duka cerita.
Kupesan whisky cola, seperti kupesan manusia dengan seluruh
luka dan gairahnya. Manusia, hmm, manusia. Apakah yang masih berharga darinya?
Kapan kita belajar memahami manusia sebagai kumpulan keinginan dan kesedihan?
Bukan semata-mata angka atau fosil atau gambar separuh badan yang dijadikan
sasaran tembakan?3
Agak ke pojok, sedikit terhalang tiang, berseberang dua meja
denganku, kulihat dua perempuan duduk berdekatan. Sementara di pojok yang lain,
seorang pemusik mulai memainkan piano. Aku memandang takjub pemusik itu.
Rautnya bersih, dengan mata sebening kejora. Ia mengenakan jubah hitam-lebih
mirip tukang sulap ketimbang pemain piano yang lembut jari-jarinya--dengan dasi
kupu-kupu warna ungu yang menyala redup. Ada sepasang sayap di punggung pemain
piano itu. Sepasang sayap yang tampak bersih, sesekali bergerak pelan mengikuti
dentingan yang bagai menyihir semua benda untuk diam menyimak. Pada saat itulah
aku merasakan sehembus angin sejuk mengusap kepenatanku. Ia mulai memainkan
Stranger In The Night. Kulirik dua perempuan yang kian saling merapat, saling
dekap, lalu berciuman. Bahu keduanya bersentuhan, berbincang perlahan, seakan
tak ingin seorang pun mendengar apa yang tengah mereka percakapkan. Denting
piano yang menghanyutkan, lamat percakapan yang timbul tenggelam....
"Aku selalu memikirkanmu," desah yang bergaun
biru, sambil mengelus punggung lengan yang satu.
Kuamati mereka. Yang satu, yang bergaun biru, rambutnya ikal
panjang mencapai bahu. Tatapannya sayu, berkulit gelap coklat, tampak mengilat.
Memakai gelang perak berukir ular yang melingar ketat di lengan kirinya,
sedangkan satunya berambut lurus potong pendek, memperlihatkan tengkuknya yang
indah dengan bulu-bulu halus yang dibiarkan tak tercukur. Berkaus ketat, ada
bordir gambar hati di bagian dadanya--rasanya ia tak mengenakan beha--ia
bersandar santai sambil mengisap rokok pelan-pelan dan menghembuskannya dengan
bibir yang dimanyunkan dan dibiarkan terbuka lama. Ah, perempuan-perempuan
metropolitan. Perempuan-perempuan yang dari kecantikan dan penampilannya seakan
tak pernah terbebani persoalan kenaikan harga gula atau remeh-temeh urusan
dapur lainnya. Perempuan-perempuan yang selalu tersenyum dalam situasi apa pun
sebagaimana dalam iklan kecantikan. Adakah mereka juga merasa kesepian?
"Ayolah...."
"Hmm."
"Kamu mulai bosan denganku?"
"Aku?!"
Sejenak keduanya saling tatap.
"Kamu tak perlu memutarbalikkan persoalan semacam itu.
Apa kamu kira aku tak tahu...."
"Laki-laki itu, maksudmu?!" sergah yang berambut
sebahu.
"Syukurlah, aku tak perlu mengatakannya...."
"Laki-laki brengsek!"
"Tapi, kamu tidur dengannya?"
"Apa-apaan sih kamu?" diraihnya tangan perempuan
yang terus menghembuskan asap rokok mengekspresikan kesebalan. Lalu, lembut
disentuhnya bibir yang merekah terbuka itu. "Laki-laki?! Persetan dengan
laki-laki...."
Aku mengalihkan pandang dari dua perempuan itu. Di antara
denting piano, percakapan itu membuatku terkenang pada seorang perempuan yang
pernah singgah dalam hidupku. Suatu kali perempuan itu meminta ketegasanku,
"Apa hubungan kita akan begini-begini terus?"
Saat itu aku tertawa. "Lalu mau apa? Kawin dan beranak
pinak seperti kucing? Aku tak pernah mau berjudi dengan perkawinan. Karena
terus terang, aku tak pernah bisa memahami perempuan. Terlalu sulit aku
pahami...."
"Bukan perempuan yang sulit dipahami, melainkan
laki-laki yang terlalu angkuh untuk berbagi!" katanya, sambil mencibir,
menamparku, dan pergi. Bagaimana kabarnya kini? Apakah ia kini juga masuk
barisan pembenci laki-laki?
Kulirik dua perempuan yang kini saling berpelukan itu.
Kudengar sekarang memang banyak perempuan memilih pacaran dengan perempuan,
karena laki-laki terlalu kolokan. Laki-laki terlalu banyak perhitungan, dan
karena itu menyebalkan. Benarkah? Benarkah perempuan menjadi lesbian karena benci
laki-laki? Kuingat seorang kawan pernah bilang, menjadi lesbian bukanlah
kelainan, melainkan pilihan. Itu soal memilih kebahagiaan.
Dua perempuan itu saling berpelukan, dan kudengar mereka
saling bergumam.
"Katakanlah, kamu mencintaiku...."
Hangat, lekat, keduanya berciuman, bagai memagut sejumput
kebahagiaan.
Dan kudengar piano mengalunkan Love Is A Many Splendoured
Thing, seakan mengabarkan kemegahan cinta yang tak mungkin terbayangkan. Pada
saat itulah, ketika alunan musik bagai menggema memenuhi sudut-sudut ruangan,
sayap di punggung pemain piano itu mengembang dan berkepak-kepak pelan, begitu
anggun. Kedua perempuan itu bertepuk, sambil tertawa gembira. Lalu pemain piano
itu berdiri, tersenyum ke arah dua perempuan yang terus tertawa memandanginya,
kemudian mengangguk takzim. Saat itulah, ya, saat itulah, tubuh pemain piano
itu terangkat pelan, ia terbang melayang-layang berkitaran nyaris menyentuh
lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit ruangan. Sambil merentangkan
kedua tangannya, pemain piano itu mengibaskan jubah hitamnya, dan seketika
bunga-bunga berhamburan di udara. Aku jadi teringat upacara perkawinan di
gereja yang selalu kubayangkan diberkahi puluhan malaikat yang menebarkan
kelopak-kelopak bunga dari keranjang perak yang dijinjingnya. Sementara piano
terus berdenting dengan sendirinya. Tutsnya turun naik, bagai ada tangan gaib
yang menekan-nekannya. Dua perempuan itu kian mempererat pelukan, terus tertawa
dengan wajah penuh kebahagiaan, seperti sepasang pengantin yang baru saja
dikawinkan. Kulihat langit yang megah oleh cinta....
"Berjanjilah, kamu akan selalu mencintaku...."
Tapi, adakah dua perempuan itu memang sungguh-sungguh merasa
bahagia dengan saling mengucapkan cinta seperti itu? Cinta. Bahagia. Apa
maknanya bagi kita? Barangkali benar, berbahagialah mereka yang percaya pada
cinta.
Kutatap wajah pemain piano yang bersih itu. Ia
mengingatkanku pada seorang kawan; seorang laki-laki yang bersih dan tampan,
yang suatu hari jatuh cinta pada seorang laki-laki yang menurutnya paling indah
di dunia.4 Begitu percaya ia pada cinta, hingga ia begitu habis-habisan
menyatakan cintanya. Ia pertaruhkan seluruh kebahagiaan hidupnya hanya dengan
dan untuk laki-laki itu. Percintaan yang dahsyat dan menggemparkan. Ia beri
segalanya. Ia harap semuanya. Ia kenali seluruh lekuk carut dan bekas luka di
tubuh laki-laki terindah itu. Ia tahu berapa jumlah bulu yang tumbuh di seluruh
bagian tubuh laki-laki itu....
Setelah kembali memberi hormat, pemain piano itu pun
berbalik. Sebuah nomor yang sendu--entah apa--ia mainkan. Sementara dua
perempuan itu kembali saling tatap, seperti hendak meyakinkan diri; betapa
semua yang mereka percakapkan barusan memang akan abadi dalam kenangan. Mungkin
karena memang mereka sudah membayangkan, betapa suatu hari nanti mereka diusik
bimbang. Lalu dengan baik-baik mereka memutuskan untuk berpisah karena yang
satu (atau keduanya?) memilih menikah dengan seorang lelaki yang meskipun tak
sungguh-sungguh mereka cintai, tapi bisa melindungi mereka dari gunjingan.
Mereka menjalani rutin kehidupan rumah tangga yang membosankan, tetapi sedapat
mungkin mereka pertahankan. Mereka biarkan suami-suami mereka keluyuran mencari
hiburan setiap malam. Sementara itu, sesekali waktu, diam-diam mereka bertemu
dan bercinta mereguk kenangan lama. Dengan gairah yang selalu sama mereka
saling menyatakan cinta. "Tak ada, tak ada yang bisa mengubah cintaku
padamu..." desah mereka tertahan, di antara cumbuan. Sebelum akhirnya agak
tergesa membenahi pakaian, dan buru-buru kembali ke rumah karena tahu sebentar
lagi suami mereka tiba. Mereka mesti menunggu kedatangan suami mereka dengan
wajah seorang istri yang penurut dan setia.
Mungkin begitu. Tapi, mungkin juga kisah mereka berakhir
bahagia. Keduanya menikah. Mengadopsi anak. Menjalani usia tua dengan tabah.
Lalu mati dan masuk surga. Bukankah seorang lesbian pun punya tempat di surga?
Kualihkan pandang ke jendela yang terbuka. Kusimak malam
bergerimis yang menggigilkan pohon-pohon akasia. Langit yang bagai teriris.
Silhuet gedung-gedung kota yang getis. Ada yang tak kupahami di luar sana.
Seperti ada yang tengah menyanyikan kesedihan dan kesepian.
Dua perempuan itu bangkit, sambil terus berpelukan,
berjalan, dan keluar.
***
KUPANGGIL pelayan. Ingin kutanyakan ihwal dua perempuan itu.
Entah kenapa, aku ingin sedikit tahu tentang mereka. Barangkali mereka sering
kemari. Aku ingin kenal mereka. Ingin bertanya, apakah mereka bahagia? Aku
ingin belajar mencintai, juga dicintai. Tidakkah keinginanku sangat sederhana
sebenarnya?"
"Bisa saya bantu, Tuan?"
"Ehm, bisa kasih tahu siapa dua perempuan yang tadi
duduk di pojok itu?" kataku.
Pelayan itu menatapku. Lalu menoleh ke pojok yang aku
tunjuk. "Perempuan?" tanyanya heran.
"Ya, dua perempuan yang barusan pergi tadi."
"Ah, Tuan bercanda...."
"Bercanda?"
"Sejak tadi cuma Tuan sendiri tamu di kafe ini...."
Kurasakan entah apa. Cahaya terasa lesi. Kulihat gerimis
masih saja nitis, membuat malam kian terasa miris.
Jakarta-Yogyakarta, 2001
Comments
Post a Comment